Selepas lulus sebulan lalu, sudah tiga perusahaan menolak. Ada satu yang sampai tahap wawancara, namun rasanya tak cocok dengan beban dan haknya jomplang. Tetap semangat!
“Move on itu gak cuma dialami orang yang baru putus cinta, tapi juga mereka yang kena pemutusan hubungan kerja.”
Berusaha bounce back dari pengalaman layoff tuh rasanya kayak berusaha move on setelah putus cinta. Sempat hilang arah—bahkan seperti kehilangan jati diri, lalu salah ambil keputusan yang rasanya kayak rebound love alias pelarian belaka, sampai akhirnya menemukan pencerahan dari berbagai kejadian sepele sehari-hari.
Goal utamanya tentu bisa melanjutkan hidup tanpa “si dia” (baca: pekerjaan lama) yang kini jadi bagian dari masa lalu. Namun, seperti halnya putus cinta, berupaya move on setelah kena layoff juga punya prosesnya sendiri. Awalnya optimis, tetapi setelah saya menjalaninya ternyata gak semudah membaca kata-kata motivasi di media sosial.
Rebound love
Saya kena layoff alias pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Agustus 2021. Dua bulan setelah layoff, saya bekerja di tempat baru yang bidangnya cukup beda dari bidang sebelumnya. Sebenarnya di tempat baru itu hitungannya turun gaji, tapi saya pikir hal ini lebih baik daripada gak ada pemasukan sama sekali. Mesti realistis, kan?
Sayangnya, setelah dijalani pekerjaan ini punya nilai yang gak sejalan dengan yang saya miliki. Saya gak cocok dengan jam kerja beserta tekanan kerjanya. Saya jadi teringat lagi betapa karier saya di tempat sebelumnya terasa sudah on track, tapi karena layoff saya harus pindah jalur dengan medan yang sulit ini.
Di satu sisi mestinya saya bersyukur karena sudah punya pekerjaan. Di sisi lain, kok rasanya gak sepadan dengan yang dihasilkan, ya?
Baca juga: Di Balik #langkahkecilhariini Sophia Latjuba & Eva Celia
Banyak pula kejadian sehari-hari yang membuat saya mempertanyakan lagi kompetensi diri, bahkan harga diri. Perang batin dan lelah fisik ini akhirnya membawa saya kembali menemui psikolog karena gelisah gak keruan.
Akhirnya saya memutuskan untuk resign—hanya bekerja sebulan di sana. Meski perasaan rendah diri karena ketidakmampuan untuk bertahan itu ada, support system saya meyakinkan bahwa hal ini merupakan keputusan yang diperlukan saat itu. Saya benar-benar zalim ke diri sendiri kalau nekat melanjutkan pekerjaan di sana.
Bagi saya sendiri, ini bukan keputusan mudah; tapi ini adalah pertama kalinya saya memilih untuk mendahulukan kesehatan batin di atas peluang mendapatkan materi. Perasaan malu itu tetap ada dan kentara karena gak mampu bertahan, tapi terselip juga secuil rasa bangga di hati karena small wins ini.
Resign tanpa ada pekerjaan baru setelahnya tuh bukan tindakan gegabah yang bisa diputuskan dalam sekejap. Bagaimanapun, sebagai pribadi yang dewasa saya bertanggung jawab menafkahi diri sendiri, sehingga keberadaan dana darurat berupa tabungan di Flexi Saver dan Maxi Saver amatlah penting, demi menjamin kelayakan hidup saya setelah resign tanpa sumber penghasilan baru.
Perlu diakui bahwa saya termasuk yang beruntung, punya kesempatan untuk menyisihkan sebagian penghasilan dari pekerjaan sebelumnya. Pada saat darurat seperti ini tabungan di Flexi Saver bisa menjadi first aid untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, dan keberadaan Maxi Saver merupakan simpanan lapis kedua yang bisa dicairkan dengan sekejap.
Tentu ada saja kekhawatiran dari orang terdekat, perihal keputusan saya “menguras” tabungan setelah resign tanpa pekerjaan baru ini. Bagaimana kalau saya gak kunjung bekerja kembali setelah berbulan-bulan? Namun, saya sudah mantap dengan keputusan ini karena prioritas utamanya adalah kesehatan lahir dan batin, bukan menambah tabungan.
Satu hal yang menurut saya penting adalah keputusan seperti ini gak perlu di-glorify (bagi yang mendukungnya) maupun dicemooh (bagi yang menentangnya). Poin utamanya yaitu siapa pun boleh mengambil keputusan yang memang dibutuhkan di saat tertentu, dan tentunya tiap orang punya kondisi yang berbeda.
Berani mengambil keputusan yang sesuai keadaan itulah yang menurut saya layak dirayakan sebagai sebuah kemenangan personal.
Baca juga: Langkah Kecil untuk Mulai Investasi
Menemukan kembali diri yang hilang
Katanya, kemenangan kecil bakal membawa kita pada kemenangan yang lebih besar. Ya, tapi kalau lebih banyak gagalnya, yang ada kita lebih gampang merasa pesimis ketimbang optimis, kan?
Faktanya, mencari pekerjaan baru tuh susah. Sudah wawancara dan mengerjakan job test—yang rasanya seperti diminta berpikir tanpa dibayar, eh malah gak lolos. Ada pula lamaran-lamaran pekerjaan yang gak berbalas sama sekali.
Keadaan seperti itu bikin frustrasi, lho. Saya jadi mengingat lagi perihal PHK yang saya alami. Saya pun bertanya-tanya apakah karena memang saya seburuk itu, ya? Teringat juga soal ketidakmampuan saya bertahan di pekerjaan baru.
Seolah rentetan kegagalan yang terjadi setelah PHK itu menegaskan kalau saya tuh gak bisa apa-apa dan gak ada apa-apanya tanpa pekerjaan terdahulu.
Orang-orang terdekat saya meyakinkan bahwa ada baiknya saya kembali melakukan hal-hal yang dulu saya sukai biar lebih semangat.
Saya juga didorong untuk bersosialisasi dengan teman-teman lama biar bisa menjemput kembali “jati diri” yang waktu itu rasanya hilang entah ke mana.
Meski gak yakin sama hasilnya, daya juang saya tampaknya masih tersisa untuk menemui teman-teman lama yang juga sedang mengalami perubahan fase hidup.
Ada yang memutuskan resign karena burnout, ada yang baru pindah kerja dari kantor yang hustle culture-nya menggilas kewarasan, serta ada pula yang masih menikmati pekerjaannya saat ini.
Gak sia-sia, langkah kecil ini ternyata membantu saya untuk gak lagi merasa sendirian. Berdiskusi, ngopi, olahraga bareng, atau sekadar keliling galeri gratisan bareng mereka, berhasil mengingatkan saya bahwa akan ada hal-hal menyenangkan yang membentuk diri saya.
Baca juga: Langkah Kecil Calon Ibu untuk Menyambut Perubahan
Kembali ke pelukan “mantan”
Perbincangan dengan kawan-kawan lama ternyata ikut membuka peluang pekerjaan. Tawaran untuk mengerjakan tulisan freelance, bahkan menulis lepas yang membuat saya menjelajah Flores sempat saya lakoni. Puncaknya, pertemuan dengan teman lama yang menawarkan saya untuk menggantikan dirinya di tempat dia bekerja saat itu.
Bagi saya, hal ini adalah persimpangan yang ironis. Kalau saya ambil pekerjaan dari “orang dalam” ini, sama saja kayak kembali ke pelukan “mantan”. Employer pekerjaan ini adalah perusahaan tempat saya bekerja selepas lulus kuliah dulu. Saya masih ingat betul alasan resign dari tempat itu. Lantas, kembali ke sana berarti harus siap menghadapi kembali problematika yang menjadi alasan saya “minta putus” dulu.
Kalau gak ambil pekerjaan ini, saya gak yakin bakal mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat. Saya ingat, tawaran ini datang menjelang akhir Desember 2021. Waktu itu saya baru saja membaca data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang mencatat ada lebih dari 72 ribu pegawai yang di-PHK karena pandemi COVID-19. Entah seberapa bagian dari angka tersebut yang bersaing dengan saya untuk pekerjaan yang saya lamar.
Singkat cerita, awal tahun 2022 saya bekerja di kantor baru—ya, tempat saya bekerja selepas lulus kuliah itu. Beberapa kali saya berpikir, “Apakah mengambil pekerjaan ini adalah sebuah kemunduran bagi karier saya?” Namun, kemudian beberapa hal kecil muncul bagai letupan-letupan kecil yang menguatkan saya untuk melanjutkan perjalanan.
Pekerjaan kali ini memang gak sempurna, tapi di sini saya bisa kembali menulis dan berbincang langsung dengan orang-orang yang saya kagumi karya-karyanya. Saya juga punya rekan kerja yang suportif, peluang untuk kembali bepergian, dan bisa menikmati kehidupan pribadi di akhir pekan—sesuatu yang langka di era hustle-culture ini.
Hingga kini saya belum merasa benar-benar ajek seperti sebelum kena layoff dulu.
Meski demikian, rentetan langkah kecil tadi, yang terjadi dari waktu ke waktu, pelan-pelan mengembalikan rasa percaya diri saya.
Langkah-langkah kecil tadi juga membuat saya lebih terbuka memeluk ketidakpastian dan kegagalan. Ini adalah pencapaian sederhana yang krusial yang perlu dirayakan dan dirawat, agar diri ini bisa kembali pulih dan terus bertumbuh. Self-love first!
Baca juga: Diam Bukan Berarti Setuju, Kita Harus Paham Soal Consent
Kepingin berbagi tentang pengalaman kamu memulai
#langkahkecilhariini seperti Kak Mardyana?
Kamu bisa ikutan kompetisi blog Jenius Co.Create lho.
Kamu berkesempatan dapetin Rp1 juta beserta merchandise eksklusif.
Silakan klik banner di bawah ini, ya!
Comments ( 3 )