Wah, artikelnya bagus banget. Setuju sih mestinya perempuan harus saling dukung.
“Setelah melek aksara, ini waktunya sesama perempuan saling memberdayakan biar sama-sama bisa melek persetujuan.”
Kalau dibandingkan dengan zaman RA Kartini dulu, sekarang perempuan punya kebebasan yang lebih luas. Dulu perempuan cuma boleh sekolah sampai tamat SD, sekarang sudah bisa sekolah setinggi-tingginya. Kini perempuan pun sudah bisa berkarya dan lebih berdaya. Namun, masalah yang masih harus dihadapi perempuan sebenarnya masih jauh dari kata tuntas. Salah satu perkara yang sampai sekarang masih menjadi concern saya adalah perkara consent atau persetujuan.
Beberapa tahun belakangan, isu tentang gender dan harassment memang sering diangkat. Di satu sisi ini bagus karena menunjukkan adanya ruang untuk bersuara, tapi di sisi lain masyarakat juga perlu paham soal consent atau persetujuan. Banyak teman saya yang laki-laki takut salah langkah; mau bercanda ke teman perempuan, takut dikira melecehkan; sementara buat yang perempuan dan benar-benar merasa dilecehkan, takut untuk speak up karena dianggap lebai dan ceritanya dibilang gak benar.
Consent atau persetujuan adalah izin yang diberikan secara sadar oleh seseorang, tanpa paksaan, dan gak berada di bawah ancaman, untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual atau nonseksual. Consent atau persetujuan itulah yang menentukan batasan apakah sikap atau tindakan seseorang itu termasuk pelecehan atau bukan. Jadi fokusnya ada pada orang yang dituju. Maksudnya, apakah si orang itu merasa gak apa-apa diperlakukan demikian? Sebab, meskipun diam, itu bukan berarti dia setuju, lho.
Misalnya begini, di kalangan para cowok, rasanya sudah biasa banget kan nyuit-nyuitin cewek lewat? Nah, sebenarnya, tindakan itu termasuk catcalling, salah satu bentuk pelecehan yang belum semua orang sadar bahwa itu pelecehan. Namun kenyataannya, kalau cewek yang disuit-suitin itu gak merasa keberatan dengan hal itu—karena sudah kenal atau alasan lain—maka sebenarnya itu pun sudah termasuk consent. Jadi hal tersebut gak masuk dalam bentuk pelecehan. Lain cerita kalau yang disuit-suitin itu tersinggung karena merasa diolok-olok, ya itu termasuk pelecehan.
Lantas, kalau sudah telanjur dan cewek yang disuit-suitin itu marah karena tersinggung, harus bagaimana dong? Cara paling gampang ya minta maaf dan gak mengulangi hal itu lagi. Begitu juga kalau orang itu kelihatan merasa gak nyaman. Kalau kamu gentleman, ya minta maaf dan jangan ulangi lagi. Consent itu gak selalu harus terucap, tapi juga lewat kesan-kesan kayak hal yang tampak kayak kelihatan gak nyaman itu tadi.
Victim Blaming dari Sesama Perempuan
Hal paling menyedihkan dari pembahasan soal isu gender dan harassment ini adalah ketika sesama perempuan malah ikut menyalahkan korban, ketika seorang perempuan mengalami pelecehan. Tiap kali ada cerita viral di media sosial soal video yang direkam tanpa izin, pasti ada saja sesama perempuan yang mengomentari pakaian si korban, atau tindak-tanduknya yang dianggap mengundang. Tindakan menyalahkan korban itulah yang disebut sebagai victim blaming.
Selain soal baju, beberapa hal lain yang dilakukan perempuan, misalnya berpakaian ketat atau keluar rumah pada malam hari, juga dianggap “mengundang”. Pandangan seperti inilah yang harus sama-sama dientaskan. Sesama perempuan harus saling menyadarkan bahwa hal-hal buruk itu terjadi karena niat pelakunya, karena korbannya gak pernah kasih consent untuk diperlakukan demikian.
Baca juga: Perempuan di Startup Digital: Breaking the Ceiling Glass
Diam Membeku saat Mengalami Pelecehan
Reaksi orang berbeda-beda saat mengalami pelecehan. Sebagian orang bereaksi keras kalau seseorang melecehkannya, misalnya memarahi langsung pelakunya, atau mengatakan bahwa dia gak nyaman diperlakukan demikian. Namun, gak sedikit pula yang reaksinya malah diam membeku beberapa saat, sampai peristiwa buruk itu berlalu. Dua-duanya wajar terjadi, dan dua-duanya menunjukkan bahwa seseorang itu menolak hal buruk itu terjadi.
Sebagian cerita yang saya dengar dari berbagai kelompok dukungan pun mengalami hal serupa: korbannya diam membeku saat peristiwanya terjadi. Namun, diam dalam hal ini sama sekali bukan persetujuan. Menurut para psikolog, yang saya temui langsung maupun lewat literatur, diam membeku sampai gak bisa berkata-kata itu termasuk respons tubuh saat berada dalam situasi terkejut yang membahayakan. Istilahnya sih tonic immobility, yaitu ketika tubuh merespons situasi bahaya yang gak terhindarkan dengan cara gak bergerak itu tadi.
Dari cerita-cerita orang dan pengalaman saya sendiri, pelecehan itu rasanya seperti pencurian, tapi yang hilang di sini bukan berupa barang, melainkan harga diri. Kebayang kan kalau kita kecopetan handphone? Ada sesuatu yang berharga yang hilang dari kita. Namun, kehilangan benda material itu gak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan harga diri, sesuatu yang melekat pada jiwa kita dan membuat kita merasa berharga.
Diam yang gak berarti setuju juga berlaku pada relasi ‘kakak-adik’ atau ‘bapak-anak’ antara perempuan dengan laki-laki yang lebih tua (confidante). Si ‘kakak laki-laki’ atau si ‘bapak’ memanfaatkan kedekatannya itu untuk mengambil keuntungan dari perempuan. Yang perlu kita pahami, menganggap mereka sebagai saudara laki-laki atau sosok bapak gak bikin mereka berhak atas tubuh kita. Jadi, kita boleh banget bilang “tidak” untuk yang satu itu.
Saling Dukung Sesama Perempuan Agar Saling Berdaya
Sepanjang Maret lalu saya ikut diskusi virtual yang digelar brand kecantikan asal Inggris, bekerja sama dengan beberapa aktivis tanah air. Salah satu pembicaranya adalah Kalis Mardiasih, yang bilang bahwa banyak korban yang terjerat confidante karena kurang beruntung mendapatkan akses pengetahuan tentang seksualitas dan otoritas tubuh. Otoritas tubuh artinya kita punya kesadaran penuh untuk gak membiarkan orang lain melakukan sesuatu ke diri kita, tanpa izin dari kita.
Seksualitas dan otoritas tubuh itulah yang menurut Kalis masih jarang diajarkan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam pendidikan formal. Saya pun sepakat; pemahaman tentang otoritas tubuh itu penting banget biar kita tau bahwa diri kita gak layak diperlakukan semaunya oleh orang lain. Sehingga ke depannya, gak ada lagi yang malah menyalahkan korban pelecehan, apalagi sesama perempuan yang melakukannya.
Dulu RA Kartini mengajar baca dan tulis biar perempuan di sekitarnya bisa melihat dunia lewat buku. Lebih dari seratus tahun setelah pahlawan emansipasi perempuan itu tiada, kita akhirnya tau bahwa perjuangannya membuat perempuan melek aksara itu memberi daya bagi kaumnya untuk bisa setara dengan kaum laki-laki. Langkah selanjutnya, saya rasa ini saatnya sesama perempuan saling dukung dan memberdayakan biar sama-sama bisa melek persetujuan. Biar gak ada lagi yang menyalahkan korban kekerasan seksual, biar gak ada lagi yang menghakimi pilihan-pilihan yang diambil perempuan dengan penuh kesadaran.
Selamat Hari Kartini, para perempuan Indonesia!
Comments ( 3 )