bing beng bang.. yok kita ke bank..
bang bing bung.. yok kita nabung..
tang ting tung hey, jangan di hitung..
tau tau nanti kita dapat untung.
(– Menabung, cipt. Titiek Puspa, dipopulerkan oleh Zaskia & Giovanny)
Generasi remaja tahun 90-an, pasti pernah dengar lagu itu. Saya malah tumbuh besar percaya dengan lirik lagu itu. Sampai usia saya masuk seperempat abad, saya percaya tabungan adalah satu-satunya bentuk menyimpan uang, baik di bank maupun celengan kucing saya. Maklum, generasi yang belum melek pendidikan finansial.
Tentunya, pikiran itu bukan cuma berawal dari lagu saja. Harus diakui, ketidaktahuan saya tentang finansial dimulai dari keluarga. Saya tidak pernah ingat tau bagaimana belajar mengelola keuangan. Hidup keluarga saya tergolong cukup walaupun tidak mewah. Buat apa belajar keuangan? Finansial adalah hal yang jauh untuk saya pelajari. Sampai pada satu masa keluarga kami mengalami kesulitan ekonomi. Dengan cepat kami dipaksa merasakan dikejar hutang, merasakan bagaimana cari pemasukan tambahan, dan bagaimana harus menghemat.
Dari situ, saya semakin yakin bahwa semua orang harus punya tabungan, supaya tidak perlu berhutang. Jadi setelah bekerja, setiap dapat gaji, saya langsung sisihkan untuk menabung, bukan tunggu sisa. Walaupun sedikit, saya harus mulai disiplin menabung. Dimulai dari sekitar Rp 150.000/bulan di awal bekerja, lama-lama jumlahnya bertambah seiring dengan kenaikan gaji dan lama kerja. Di mana? Tentunya di bank. Kan bisa dapat untung bunga katanya.
Setelah beberapa tahun bekerja, saya dengar konsep lain, yaitu investasi. Salah satu investasi yang paling rendah resikonya, katanya adalah deposito. Saya coba cari tau informasi tentang deposito di bank. Untuk punya deposito, perlu sejumlah uang yang cukup besar jumlahnya, yang harus didiamkan dalam jangka waktu tertentu, dan kalau ditarik sebelum masa jatuh tempo akan dikenai penalti/denda.
Seperti yang saya sebutkan di atas, saya merasa orang harus punya dana cadangan – yang bisa dipakai kapan saja sewaktu dibutuhkan. Konsep mendiamkan sejumlah uang dalam waktu tertentu dan dikenai penalti kalau diambil – itu tidak masuk kriteria pengelolaan finansial saya pada masa itu.
Sekali lagi, saya putuskan, saya hanya mau punya tabungan.
Masalahnya seperti lirik lagu tadi, saya tidak menghitung tapi mengharapkan untung. Suatu hari, entah dapat ide dari mana, saya buat tabel perbandingan biaya administrasi dan perbandingan suku bunga dari seluruh rekening bank saya.
Boom! Saya baru ngeh kalau ternyata selama ini ada banyak biaya yang saya bayar, padahal hampir tidak pernah ada transaksi di rekening itu.
Anggap saja biaya administrasi 1 rekening rata-rata Rp 10.000 per bulannya, maka per tahun menjadi Rp 120.000. Total biaya administrasi 4 rekening adalah Rp 480.000 / tahun. (angka hanya ilustrasi rata-rata). Padahal saya menabung hampir delapan tahun. Sementara bunganya rata-rata di bawah 1% karena saldo saya tidak sampai 1M. (Saldo di atas 1M juga bunganya cuma rata-rata 1,5% ternyata)
Saya kecele, kok saya nggak merasa untung ya?!
Eh anggaplah masih untung. Saya dengar cerita dari adik saya tentang pengalaman menabung dia di Jenius. Awalnya saya skeptis juga, “paling juga sama saja dengan yang lain”, “paling juga adik saya yang nggak ngerti, kayak saya dulu”. Tapi seiring berjalannya waktu, saya jadi tertarik dengan pengalaman dia menggunakan Jenius.
Selain tidak ada biaya administrasi, bebas biaya transfer antar bank, dan kemudahan akses secara online, saya merasa Jenius mengajak penggunanya untuk disiplin menabung dengan fitur Save It. Ada beberapa pilihan model menabung yang bisa dipilih user sesuai kebutuhan masing-masing. Mau menabung seperti tabungan biasa tapi dengan bunga lebih tinggi? Bisa menabung di Flexi Saver. Atau perlu membiasakan diri menabung berkala sampai target tertentu? Bisa buka di Dream Saver. Atau mau menabung dengan jangka waktu seperti deposito bank? Bisa coba Maxi Saver.
Akhirnya saya putuskan untuk memulai #hari2jenius menabung, di Maxi Saver. Kenapa? Apa yang membuat Maxi Saver berbeda dari yang lain?
Satu, tidak ada penalti/denda kalau penarikan dananya sebelum masa jatuh tempo. Saya masih bisa berinvestasi tapi saya juga merasa aman karena saya tetap punya kendali kapan saya perlu tarik uang tersebut kalau tiba-tiba saya perlu.
Dua, bunganya (6,75%-7%) ternyata lebih tinggi dari bunga tabungan pada umumnya, bahkan lebih dari deposito bank lain. Kalau saja, saya sudah bisa join Jenius dari awal masa kerja saya, mungkin saya sudah berinvestasi lebih awal. But better late than never, right?
Tiga, mudah akses pembuatan dan penghentiannya, tidak perlu repot antri ke bank.
Selama empat bulan saya punya rekening di Jenius, saya merasa lebih untung dibandingkan bertahun-tahun saya menabung di tabungan biasa.
Sekarang, saya bisa bilang kalau saat ini saya punya #hari2jenius dalam mengelola tabungan dan investasi. Dan saya bangga dengan #hari2jenius saya. 🙂
Comments ( 0 )