Sejak kecil, saya dibiasakan dengan pemikiran kalau perempuan harus berkarya dan berdaya. Saya memang tumbuh di keluarga yang mana para perempuan memiliki multiperan: bukan hanya sebagai istri dan ibu, tapi juga sebagai pengusaha, pekerja, maupun anggota atau pemimpin komunitas. Mungkin karena terpengaruh cerita almarhumah nenek saya yang dengan tangguh menghidupi diri sendiri dan 7 anak setelah ditinggal suaminya ketika baru berusia 32 tahun, kebanyakan perempuan di keluarga besar tau betapa pentingnya bagi seorang perempuan untuk bisa mandiri.
Ibu saya juga sangat progresif mengenai hal ini. Saya ingat salah satu pesannya, “Kamu gak perlu bisa masak, yang penting bisa beli.” Walaupun terdengar seperti guyonan untuk menghibur anaknya yang gak berbakat memasak ini, tapi saya selalu menganggap ini adalah pesan tersirat dari beliau bahwa saya harus berdaya dan memiliki penghasilan sendiri.
Masuk ke dunia kerja, saya kembali dihadapkan pada lingkungan di mana perempuan sangat didorong untuk berdaya. Perusahaan tempat pertama saya bekerja sangat menjunjung tinggi persamaan gender—dan banyak sekali perempuan yang memegang peran sebagai eksekutif. Di perusahaan ini pun saya melihat bahwa perempuan juga diakui sebagai pencari nafkah— berbeda dengan kebanyakan perusahaan yang mempunyai kebijakan kalau perempuan dianggap single alias gak bisa memiliki tanggungan, di sini perempuan bisa mendaftarkan suami dan anak-anak sebagai tanggungan untuk menerima fasilitas kesehatan. Ini juga jadi salah satu hal yang membentuk mindset saya mengenai peran wanita dalam rumah tangga.
Baca juga: Diam Bukan Berarti Setuju, Kita Harus Paham Soal Consent
Berkarier dan berkeluarga bisa berjalan beriringan? Susah! Begitu biasanya yang saya dengar dari beberapa orang saat saya masih lajang. Namun, saya kurang setuju dengan opini tersebut karena sudah melihat banyak sekali contoh yang membuktikan sebaliknya, terutama di perusahaan yang saya ceritakan sebelumnya. Akan tetapi, karena waktu itu saya juga belum berkeluarga, jadi akhirnya tetap mencari tau sana-sini, bagaimana sih menyelaraskan antara kehidupan rumah tangga dan kehidupan profesional? Berbekal insight dari para senior dan sepengamatan pribadi, ada beberapa hal yang kemudian menjadi pegangan saya sampai sekarang.
Saya memang tumbuh di keluarga yang mana para perempuan memiliki multiperan: bukan hanya sebagai istri dan ibu, tapi juga sebagai pengusaha, pekerja, maupun anggota atau pemimpin komunitas.
Setiap perempuan multiperan pasti akan mengatakan bahwa dia gak bisa berfungsi tanpa support system; baik itu orang tua, staf rumah tangga, tim di kantor, dan sebagainya. Namun, menurut saya, support system paling utama adalah pasangan. Jadi, seandainya kamu ingin tetap meniti karier setelah menikah, carilah pasangan yang bakal mendukung hal itu. Jujurlah pada diri sendiri dan juga pada calon suami mengenai apa yang kamu inginkan untuk dirimu sendiri setelah berumah tangga. Ini adalah hal-hal yang harus disepakati sebelumnya, biar gak jadi deal breaker pada kemudian hari. Gak ada yang salah kok dengan menyetujui permintaan calon suami untuk berhenti berkarier, asalkan itu memang hal yang sudah kamu inginkan. Kalau itu gak sesuai dengan aspirasi, ya berarti harus ada pembicaraan lebih lanjut untuk mengakomodir keinginan kedua belah pihak.
Belajar dari ibu saya, yang memiliki usaha sendiri dan sangat aktif dan sibuk di komunitas, tapi selalu “ada” untuk keluarga, saya jadi belajar bahwa sebagai manusia sekaligus sosok perempuan pada khususnya, kita harus pintar menempatkan diri sesuai peran. Misalnya, di kantor mungkin kita adalah leader, dengan tim yang selalu siap sedia didelegasikan sesuatu. Namun ketika berada di rumah, kita kembali menjadi ibu dan istri yang menerima “delegasi tugas” dari anak-anak ataupun suami. Kesadaran mengenai “topi peran” mana yang sedang kamu pakai ini akan sangat membantumu menempatkan diri sesuai porsi, serta membawa kenyamanan untuk sekitarmu.
Baca juga: Perempuan di Startup Digital: Breaking the Glass Ceiling
Gak cukup hanya “memilih” dan “mengadakan” support system, kamu pun harus “memelihara” support system kamu. Layaknya sebuah hubungan, kamu juga harus memberi, bukan hanya menuntut untuk menerima.
Dukungan suami dan anak-anak sangat penting bagi saya untuk mewujudkan aspirasi karier saya. Karena itulah saya selalu berusaha memberikan yang terbaik buat mereka. Ketimbang selalu minta didukung tanpa syarat, saya selalu berusaha mengembalikan pertanyaan ini ke diri sendiri, “Sudah pantas belum saya menerima dukungan penuh dari keluarga?” Logikanya, untuk mendapatkan dukungan dari support system kita, pertama-tama kita harus jadi orang yang pantas menerima dukungan penuh dari mereka. Dengan cara apa? Dengan menyediakan—bukan menyisakan—perhatian dan waktu kita. Bukan hanya untuk suami dan anak-anak, tapi juga untuk semua support system yang kita miliki.
Kembali ke pertanyaan awal, beneran susah gak sih untuk menjalani kehidupan karier dan keluarga yang selaras? Ya, tentunya hal itu sangat menantang. Dan ini dialami oleh perempuan di seluruh dunia. Bahkan sampai ada riset yang baru diterbitkan oleh American Economic Journal pada tahun 2020 mengenai lebih rentannya perceraian kalau istri mendapatkan promosi ke posisi eksekutif. Namun, kuncinya sih menurut saya kembali ke kesadaran untuk memberikan yang terbaik di tiap peran yang kita jalani. Kalau sedang berinteraksi dengan suami ya berarti kamu adalah istri yang harus menghormati suami sebagai kepala rumah tangga. Berhadapan dengan orang tua? Ya berarti kamu adalah anak. Dengan anak-anak? Tentu kamu menjadi sosok ibu. Dan seterusnya. Jangan lagi bawa-bawa posisi kamu di dunia profesional sebagai bos, leader, eksekutif, atau apa pun itu.
Baca juga: Inspirasi Membangun Merek di Tengah Ketidakpastian
Pilihan menjadi perempuan mandiri bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri kita sendiri. Menyelaraskan kehidupan berkarier dan berkeluarga memang tidak mudah. Namun, bukan berarti gak mungkin dilakoni, dan gak seharusnya menghalangi niat kita untuk menjadi perempuan yang terus berjuang mewujudkan impian. Sekali lagi, kuncinya adalah: selalu ingat untuk membawa diri sesuai peran yang sedang kita jalani. Karena perempuan memang perlu mandiri, tapi gak boleh lupa diri.
Comments ( 0 )