Kedua tangan sosok itu terus menekan sisi kanan badannya—persis di bawah tulang rusuk—sambil berharap agar hal tersebut memperlambat laju perdarahan. Tak kuasa dia merintih.
Kesalahan pertamanya hari ini adalah memakai kaus putih, yang sejak sepuluh menit lalu berubah warna jadi merah segar.
Di bawah visi penglihatannya yang makin mengabur akibat hujan deras yang mengguyur Kota Arc sejak satu jam lalu, kedua iris mata kecokelatan itu melakukan pemindaian terhadap area di sekitarnya dengan cepat. Kesalahan keduanya adalah tidak membawa mobil dan kacamata khusus antibadai V-23, plus terlalu malas mengecek prakira cuaca sore ini.
Bunyi sirine mobil polisi sayup-sayup terdengar. Namun, yang membuat tubuhnya seketika menegak dan kembali setengah-berlari-setengah-terseok menyusuri tiap liku gang yang sudah dia hafal ditu adalah suara langkah berat yang berasal tidak jauh dari tempatnya bersembunyi sesaat lalu.
Sebuah rintihan disusul serentetan kalimat makian kembali meluncur dari bibirnya.
Sial. Sial. Sial.
Dia menyelinap masuk ke kafe bergaya retro yang ramai pengunjung, berjalan melewati pintu masuk senormal mungkin, berusaha mengabaikan tatapan yang dilayangkan beberapa pengunjung kafe. Dia berharap tatapan yang dia terima karena rambut merah sepunggungnya yang kelihatan seperti sarang burung, atau karena botnya yang menguarkan bau tidak sedap akibat tercebur got beberapa menit lalu. Apa pun, selain bukan karena luka tusukan pisau yang mulai menembus mantel cokelat yang dirapatkannya semakin erat.
Agar tidak menarik kecurigaan dia mengantre di kasir untuk memesan kopi. Dia mengeluarkan ponsel untuk membayar tagihan pesanannya. Dia membuka aplikasi Jenius, masuk ke Send It untuk melakukan transaksi. Tidak lama kemudian, dia mengambil pesanannya yang sudah siap.
Setelah itu, dia berbelok menuju bilik toilet pria yang untungnya sedang kosong. Kurang dari satu menit, mantelnya sudah berganti dengan jaket kulit hitam. Sementara itu rambut sarang burungnya sudah tersembunyi di kupluk hasil meminjam dari pedagang surat kabar yang sempat dilaluinya sebelum sampai kemari. Ditatapnya sosok itu di cermin—hanya lima hitungan sebab dia tidak tahan dengan pantulan menjijikkan itu. Kumis palsu itu sudah seharusnya dia ganti kalau tidak ingin menimbulkan ruam di kulit, belum lagi barang itu membuatnya tampak seperti pengemis.
Setelah berdeham dengan nada rendah, dia bergegas menuju pintu belakang kafe—yang sudah dia hafal sejak jauh-jauh hari.
Kesalahannya yang ketiga hari ini: selain teledor menceburkan diri ke got, juga merusak satu-satunya alat komunikasinya dengan sang Nebula. Dia benar-benar tidak punya rencana ataupun rekan cadangan.
Oleh karena itu, ketika bunyi tembakan terdengar, dia hanya bisa mematung. Begitu pula ketika peluru itu melintas tidak lebih jauh dua milimeter dari bahunya sebelum menancap ke dinding belakang kafe–dia masih tidak bergerak. Tentu saja yang tadi bukan tembakan meleset yang dilayangkan seorang amatir. Bukan pula tembakan salah sasaran. Yang barusan itu mewakili bisikan halus sebuah ancaman jitu.
“Well, well, well. Lihat, pengemis dari kolong jembatan mana yang berhasil kita temukan ini?”
Tiga pria kekar yang memakai topeng bercorak totol macan itu melangkah mendekat, membuat dirinya makin terpojok hingga punggungnya membentur dinding.
Di saat seperti ini—kalau situasinya berbeda sedikit saja—dia akan mengeluarkan jurus andalannya: tersenyum cantik ala perempuan tidak berdaya kemudian mengajukan pertanyaan lugu seperti, “Siapa kalian?” Atau seperti, “Apa urusan kalian?” Bahkan kadang ditutup dengan ucapan, “Aku hanya kebetulan lewat dan tidak tahu apa-apa.” Sayangnya, penampilannya kini membuatnya terjebak dalam taktiknya sendiri.
Sial. Kesalahannya yang keempat: terlalu angkuh mengaktifkan mode ekstra-waspada. Hari ini persis hari paling sial sepanjang kariernya di dunia ini.
“Minggir.”
Ah. Rupanya sosok itu sudah datang.
Tiga pria kekar itu langsung pamit undur diri, meninggalkannya berdua dengan sosok di depannya sekarang ini. Setiap yang menempel di tubuh sosok itu tidak luput dari karya desainer ternama dari ujung kepala hingga kaki. Bahkan harga dari sosok itu sendiri sudah sangat tinggi mencapai langit ketujuh. Sosok maha yang tiap sel di tubuhnya meneriakkan kata ‘bahaya’.
“Lo kehabisan penyamaran. Dan rencana.”
Dia bungkam.
“Biar gue tebak, entah Nebula lo yang tertangkap atau alat komunikasi lo yang rusak. Ceroboh seperti biasa. Gue bakal selalu ada beberapa langkah di depan lo.”
“Mau ngapain kemari?” tanyanya sinis. “Bukannya terlalu berisiko buat bos besar untuk menampakkan wajah secepat ini ke musuh bebuyutan?”
Sosok itu mendekat, lalu menunduk untuk menyejajarkan diri dengan tubuhnya yang terduduk lemah di genangan air. Kupluk dan kumisnya ditarik lepas. Pandangan mereka berserobok. Sepasang iris biru langit itu menyala-nyala menatapnya. Kilat membelah di atas mereka, disusul gelegar petir selang beberapa saat kemudian.
“Diandra.” Suara bariton itu terdengar datar seperti biasa. Matanya melirik ke bawah. “Lo gak pernah belajar.”
“Dan lo gak pernah bisa ingat gue tuh gak suka basa-basi,” ujar Diandra, menyamakan intonasi datar. “Di mana brankas itu?”
Laki-laki di hadapannya mengulurkan tangan, perlahan menyingkap jaket kulit yang dipakainya dan mengamati darah yang masih terus menetes. Sosok itu melirik ponsel yang sudah tidak lagi berbentuk meluncur jatuh dari ranselnya yang tidak tuntas diresleting. “Lo betul-betul gak bisa ngehubungin Nebula?” Kali ini ada sedikit lelah dalam suaranya. “Udah gue bilang, lain kali—”
“Gak usah pura-pura khawatir.” Diandra menangkis tangan laki-laki itu dan merapatkan jaketnya kembali. Dia menegakkan tubuh meski harus menahan nyeri. “Waktu gue gak banyak. Segera aja kita akhiri ini.”
“Ya. Dengan luka seperti itu, waktu lo cuma beberapa menit–atau beberapa jam kalau beruntung.”
“Gue gak bakal kalah. Dan gue kemari jauh-jauh bukan buat dengar ocehan gak penting lo,” ujar Diandra geram. “Sekali lagi, bilang di mana brankas yang lo dan sindikat kriminal lo sembunyikan!”
“Otak brilian lo belum bisa menemukan lokasinya?” Laki-laki itu menaikkan sebelah alis. “Dan perlu gue ingatkan bahwa anak buah gue yang lo sebut ‘payah’ seenggaknya baru aja bikin dua tulang rusuk lo patah, sebelah kaki pincang, dan perdarahan yang cukup dalam.”
Melihat senyum pongah yang terbit di wajah sosok itu, membuat Diandra kembali menggeram kesal. “Gak usah sombong hanya karena hari ini gue sedikit kecolongan—” Dia terbatuk. Sial, rusak sudah citranya di hadapan musuh bebuyutan.
“Memang gak biasanya kondisi lo begini.” Laki-laki itu mengernyit. “Mungkin itu alasannya? Lo sedang datang bulan—”
“DIANDRAAA…!”
Diandra mengerang jengkel. “Duh, kali ini apa lagi? Pemilihan waktunya gak tepat!”
Laki-laki itu berdiri. “Nyokap lo mungkin manggil lo buat makan siang. Perkiraan gue, sekarang pukul satu.”
“Oh, brilian.” Diandra bangkit tanpa sedikit pun melirik tangan yang terulur di hadapannya. “Awas kalau lo sampai nge-reset semuanya.”
“Lebih baik ganti peran dan tempat,” sahut laki-laki itu. “Yakin masih mau lanjutin yang tadi? Sedikit lagi aja, lo hampir—”
“Mati? Kalah?” Diandra mendengus. “Kalaupun iya, gue bakal melakukannya lagi dan lagi sampai elo berlutut di hadapan gue.”
Laki-laki itu kembali mengernyit. “Daripada gak berguna, lebih baik kayak kata gue tadi—”
“Musuh gak boleh saling kasih nasihat.”
“Lo memang lagi datang bulan.”
Diandra memutar bola matanya sebelum mengetuk pergelangan tangan kanannya tiga kali. Tubuhnya melebur menjadi hologram, lalu perlahan menghilang. Di sampingnya, laki-laki itu melakukan hal yang sama.
***
Di kamar tidur Diandra melepaskan konsol permainan berbentuk kacamata dari wajahnya, kemudian meregangkan sendi-sendi tubuhnya yang kaku. Tepat saat itu, pintu kamarnya terbuka.
“Di—” Pandangan Ibu berserobok dengannya. “Oh, sudah bangun rupanya. Atau justru belum tidur dari semalam? Pasti main Undercover bareng Jaebi lagi.”
Undercover adalah permainan digital bergenre aksi yang telah menjadi favorit Diandra sejak versi betanya diluncurkan satu setengah tahun lalu. Konon, ada batasan level tidak terbatas pada versi terbaru programnya yang baru saja dia mainkan sesaat lalu.
Inti dari permainan ini cukup sederhana. Para pemain akan memilih karakter. Para karakter utama; agen rahasia dengan misi menemukan barang yang dicuri oleh sindikat gelap yang ada di kota atau jadi bos besar sindikat gelap tersebut. Ada pula para karakter sampingan; Nebula, asisten kepercayaan dari agen rahasia, atau Mars, tangan kanan bos sindikat gelap. Dapat pula memilih menjadi karakter figuran yang lain seperti tukang pos atau pemilik warung, menikmati jalannya cerita dari sudut pandang orang ketiga, bahkan sekadar mengecoh para karakter utama.
Bagian menyenangkan dari permainan ini adalah teka-teki siapa menjadi siapa, di mana barang yang hilang disembunyikan, dan di mana markas sindikat gelap itu berada. Rancangan kota itu sendiri selalu berbeda. Oleh karena itu, para pemain harus melakukan persiapan matang dengan asisten, tim, ataupun anak buah masing-masing yang tidak jarang memakan waktu berhari-hari. Dalam hitungan waktu permainan tersebut, tentu saja. Satu jam yang dihabiskan di dunia nyata sama dengan satu hari di bawah sana.
Diandra nyengir. “Ibu kenapa manggil?”
“Makan! Sudah siang.” Ibu melirik ke balik bahunya, lalu melambai. “Sekalian ajak temenmu. Cepat turun, jangan main terus sampai gak ingat kebutuhan yang lain.”
Setelah Ibu keluar, Diandra beranjak ke dekat jendela kamarnya yang setengah terbuka. Sosok Jaebi berdiri di dekat jendela kamarnya sendiri yang berada di rumah seberang. Sama seperti dirinya, laki-laki itu juga masih mengenakan baju yang dipakai semalam.
Tiba-tiba Diandra teringat laki-laki di dalam permainan tadi. Kenapa orang itu selalu tau kalau gue lagi datang bulan?
Satu tangan Diandra terangkat untuk mengusap pinggangnya yang nyeri. Dia bergeser untuk menyentuh sisi kanan tubuhnya yang sempat kena tusukan berkali-kali. Bagian paling menyenangkan dari permainan ini adalah sensasi, adrenalin, serta perasaan yang teramat nyata. Terluka di sana-sini dan mati dengan mengenaskan berkali-kali telah cukup mendorong Diandra untuk mengambil kelas bela diri dan menjaga pola hidup sehat di kehidupan nyata.
Tangannya kembali menekan sisi kanan tubuhnya. Tentu saja tidak ada darah segar yang mengalir. Namun, rasa sakit yang terpatri di dalam benaknya… memikirkan hal tersebut membuatnya ngilu. Memang bukan luka terparah yang pernah dia dapatkan selama bermain Undercover, tapi kondisinya sekarang tidak dalam keadaan walafiat seperti biasa.
Dia kembali menangkap sosok Jaebi yang sedang mengamatinya, membuat dia mengangkat sebelah alis. Jaebi tampaknya memang berasumsi Diandra datang bulan. Atau laki-laki itu mengolok luka tusuk akibat perlakuan anak buah keparatnya itu? Diandra mendengus, mengacungkan dua jari tengahnya tinggi-tinggi, sebelum beranjak keluar dari kamar dan turun menuju ruang makan.
***
Diandra mendorong pintu di hadapannya yang mengarah ke tangga darurat dengan lengan kanan yang tidak terkena luka bakar akibat tindakan sembrono beberapa saat lalu dengan menghambur ke dekat api untuk menyelamatkan chip yang tidak lebih dari dua sentimeter. Nilai chip itu lebih tinggi daripada nyawanya sendiri.
Perempuan itu bergegas ke lantai delapan, tempat Nebula-nya bersembunyi menunggunya. Dia mengutuk rumah sakit tempatnya berada kini karena memiliki dua belas lantai dengan langit-langit yang tinggi.
Sesekali dia melirik ke anak-anak tangga bawah yang sudah dilewati, berharap tidak ada serangan kejutan lainnya. Dia berhenti sejenak di depan pintu. Hasil taksirannya mengatakan seharusnya sekarang dia berada di lantai enam. Dia pun melirik arlojinya. Bagus, masih tepat waktu. Sedikit lagi—
Pintu di hadapannya mendadak terbuka. Sebuah tangan membekap mulutnya, sementara satunya lagi melingkari pinggangnya erat dan menariknya ke belakang. Diandra terus meronta dan menendang. Sampai akhirnya dia didorong masuk ke ruang rawat inap yang kosong. Pintu ruangan pun dikunci rapat.
“Lo tuh gak pernah belajar, ya?”
Diandra mengerjap pelan, tidak repot-repot membalikkan tubuh untuk mengetahui si pemilik suara.
“Gue hampir kalah lagi, ya?” Diandra tertawa pelan. “Jadi, rumah sakit ini ada di bawah kuasa lo juga? Gue tebak, lo udah mengamati gerak-gerik gue lewat kamera pengawas sejak gue di sini.”
“Nebula lo tertangkap setengah jam lalu. Lo terlambat. Ini gak bakal berhasil.” Jaebi mendesah. “Diandra.”
Diandra mengubah posisi tubuh jadi terlentang di ubin yang dingin. Sebelah lengannya terangkat menutupi mata. “Oke, kali ini gue mengaku kalah. Chip-nya ada di saku jaket gue,” gumamnya. “Tapi, untuk kali ini doang! Awas kalau gue dengar lo membual tentang ini selama seminggu ke depan. Sama kayak wakto lo menyombong udah terpilih sebagai Ketua OSIS di tahun kedua SMA. Padahal kita cuma selisih tiga suara—”
Tanpa disadari, Jaebi sudah duduk di sampingnya, dengan hati-hati membersihkan luka bakar yang merambat di sepanjang bagian atas lengan kirinya, sebelum kemudian mengoleskan salep dan membalutnya dengan perban.
Diandra menurunkan lengan satunya dari wajah, kemudian mengamati Jaebi dengan raut bingung. “Ngapain lo?”
“Biasanya lo gak jadi sebodoh ini selama datang bulan.” Ucapan itu dihadiahi sebuah tamparan kelas di punggung. “Aw! Lo paham maksud gue. Kalau gak segera diobati, bisa melepuh dan jadi perih banget.”
“Gak usah repot-repot berlagak kayak Nebula gue. Nanti juga sembuh sendiri.”
“Bukan berarti lo gak bisa merasakan sakitnya.”
Diandra bangkit dan duduk bersila. Perempuan itu mengeluarkan chip dari saku jaket, kemudian memberikannya pada Jaebi. Namun, Jaebi hanya memandangi chip itu.
“Kenapa?” tanya Diandra. “Sebenarnya, gue juga heran lo belum mengumumkan kemenangan lo dan mengakhiri permainan ini.”
Dalam Undercover, permainan berakhir ketika salah satu pihak dinyatakan menang dengan cara mengungguli lawannya, lawannya mati, lawannya mengaku menyerah, ataupun salah satu atau kedua pihak sepakat menekan tombol reset untuk menyelesaikan sesi tersebut lebih cepat.
Jaebi tidak menggubris. Laki-laki itu bangkit untuk menyibak tirai lebar-lebar, lalu duduk di tepi kasur. Kepalanya dimiringkan sambil menatap Diandra, sementara tangannya menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.
Diandra pun duduk di sana. Mereka diam mengamati tetes embun pertama yang jatuh mengiringi bangunnya mentari di ufuk timur. Pagi yang indah, kontradiktif dengan kondisinya saat ini.
“Pasti udah hampir jam makan malam.”
Jaebi mendengus. “Lo cuma ingat dunia nyata saat jam-jam makan doang, ya?”
“Ngaca!”
“Di.”
“Hm?” Diandra sedikit terkejut karena laki-laki itu terbiasa memanggil nama lengkapnya.
“Setelah ini… terus apa?”
“Maksudnya?”
Jaebi mengembuskan napas. “Rasanya membosankan. Gue gak lagi merasakan di mana titik menyenangkannya.”
“Maksud lo permainan ini?” Diandra mengernyit. “Bagi gue, gak ada lawan lain yang lebih seru buat ditaklukkan daripada elo.”
“Justru itu, Diandra. Kita berdua udah mengenal jalan pikiran masing-masing, sehingga setiap manuver yang dilakukan oleh pihak satunya jadi terlalu gampang digagalkan. Itu yang bikin duel ini makin menarik. Tapi itu juga yang bikin duel ini terus-menerus berulang.” Jaebi terdiam sebentar. “Coba bayangin kalau kita gak jadi musuh. Kita bisa jadi sekutu terkuat.”
“Tapi itu akan membuat musuh kita jadi mudah dikalahkan dan permainan ini berakhir terlalu singkat.”
“Tentu gak akan terjadi kalau di dunia nyata.”
Diandra menoleh ke samping, masih tidak menangkap arah pembicaraan ini yang sebenarnya.
“Lo gak merasa capek?” Jaebi balas menatapnya, kemudian memberinya seulas senyum tipis. Satu dari sekian aksi kecil yang bisa dihitung jari bahkan setelah lebih dari dua belas tahun usia pertemanan—atau tepatnya permusuhan—mereka. Diandra mengingat pertama kali dia melihat senyum itu ketika mereka berkenalan di bangku kelas satu SD, kemudian ketika Diandra dihukum saat orientasi siswa baru di SMP, ketika Jaebi memenangkan pemilihan Ketua OSIS setahun lalu, ketika Diandra kalah taruhan sehingga harus menjadi pesuruh Jaebi di sekolah…
Kemudian, ada saat-saat yang lebih membingungkan. Jaebi yang ikut tersenyum lebar melihat Diandra senang setelah menerima hadiah kotak musik dari laki-laki itu saat berusia tiga belas tahun, saat Diandra dinyatakan menempati peringkat pertama paralel di sekolah beberapa minggu lalu di hari kelulusan mereka, juga setiap kali mendapat kabar bahwa mereka akan bersekolah di tempat yang sama.
“Udah lama lo gak senyum.”
“Gue murah senyum.”
“Sama gue sih gak ya…”
“Mungkin lo aja yang gak sadar.”
“Mungkin karena gue membosankan, seperti kata lo tadi.”
Jaebi menggeleng. “Bermusuhan kayak begini rasanya membosankan. Melelahkan.”
Gelombang rasa panik melanda Diandra. Apa Jaebi bermaksud memutus hubungan permusuhan mereka? Tidak ingin berinteraksi dengannya? Lalu, siapa yang akan menjadi lawan bermainnya di Undercover? Lawannya menjadi nomor satu di universitas nanti? Oh, sial. Apa mereka juga tidak akan mendaftar ke universitas yang sama? Apa mereka akan jadi canggung hingga kemudian Diandra tidak lagi bisa menghabiskan waktu bersama laki-laki itu untuk belajar ataupun sekadar fokus dengan kegiatan sendiri dari dalam kamar masing-masing dengan jendela yang sepenuhnya terbuka sepanjang malam?
Diandra berusaha menjaga raut wajahnya tetap terkendali. “Oh.”
“Diandra.”
“Apa lagi?” Suaranya tidak bermaksud terdengar ketus.
“Lo beneran gak mau datang ke prom night besok?”
“Lo kan tau gue gak suka acara begituan.”
“Meski semua teman lo datang?” Jaebi mengangkat alis. “Lo tau kita berdua masuk nominasi Raja dan Ratu Sekolah, kan?”
“Raja dan Ratu Kegelapan, kali.” Diandra mendengus. “Intinya, males. Lo sendiri gak bakal datang, kan? Ngapain ngurusin gue?”
“Jadi kalau gue datang, lo bakal datang juga?”
“Mungkin. Gue gak bisa kalah gitu aja dari lo.”
“Kalau gitu, besok gue jemput jam lima.”
Diandra melongo. “Kepala lo kejedot apa sih? Lagian gue gak punya gaun.”
“Masih ada waktu. Gue bisa sekalian anter lo cari gaun besok.”
“Serius deh. Lo gak pernah sebaik dan seperhatian ini sama gue.”
“Mungkin memang itu yang ingin gue lakukan sejak dulu. Tapi lo bikin semuanya sulit.” Jaebi menatap ke luar jendela. “Atau seperti kata gue, elo-nya aja yang gak sadar.”
“Hah?”
“Kalau gue bilang bakal melepaskan Nebula lo, ngasih tau lo lokasi artefak itu, ngebebasin lo mengklaim kemenangan ini dengan telak, dan membiarkan lo minjem vinyl gue selama seminggu…” Jaebi kembali menoleh menatapnya.
“Kalau gak?”
“Kita bakal terus di sini saling menembak atau menusuk. Dan gue harus mengobati lo lagi dan lagi, karena Nebula lo sama sekali gak becus,” sahut Jaebi. “Lo sadar kan, Di? Gak bakal ada ujungnya.”
“Kalau gue bilang setuju, abis ini lo gak bakal mengolok-olok gue di depan semua orang dan bilang semua tentang lo yang ngajak gue ke prom itu cuma bercandaan, kan?”
Jaebi kembali mengumbar senyuman langka itu. “Udah gue bilang. Memusuhi elo terasa melelahkan.”
Diandra menggigit bibir. Terdiam lama.
“Jadi, di mana lokasi artefak itu?”
Undercover merupakan cerpen pemenang Kompetisi Menulis Fiksi Jenius Co.Create.
Mau cerpenmu di-publish? Yuk submit naskahmu di sini!
Comments ( 0 )