Kadang “frekuensi” bisa memudarkan hubungan ya… :’)
Mereka bilang sebuah pohon tidak akan mati secara tiba-tiba. Pohon tersebut akan tetap tumbuh sampai detik terakhir kehidupannya—membiarkan akarnya merayap di bawah permukaan tanah dan dahan-dahannya menadah langit dengan rentang yang semakin lebar.
Kematian sebuah pohon dapat dilihat dari dedaunannya; menyaksikan bagaimana mereka jatuh, sehelai demi sehelai, hingga tidak ada lagi daun yang tersisa di setiap rantingnya.
Dulu, ketika masih SD, aku pernah melihat pohon yang baru ditebang. Aku tidak ingat persisnya pohon apa itu. Mungkin pohon flamboyan, bisa juga beringin. Namun, aku ingat dedaunan pohon tersebut yang begitu hijau dan penuh kehidupan seolah baru saja disiram hujan; batang pohon tersebut yang kukuh, juga betapa pohon itu terbelah dengan rapi.
Ada sesuatu yang bergejolak di hatiku pada hari itu, ketika aku melihat orang-orang memisahkan batang pohon tersebut dari tunggulnya. Kesedihan, mungkin. Atau rasa kasihan—aku tidak tahu. Yang jelas, sama seperti hampir semua kenangan akan masa kecilku, memori akan pohon yang ditebang ini juga ikut terkubur bersama ingatan-ingatan yang lain, menolak untuk diingat sebelum waktunya.
Hari ini, saat hendak menyaksikan gedung SD-ku dirobohkan, aku teringat pohon yang ditebang itu.
Ada setidaknya tiga lusin orang yang datang hari ini. Terasa wajar karena semua orang punya kesibukan masing-masing. Membaca pesan yang diteruskan melalui WhatsApp mengenai rencana pembongkaran gedung sekolah lama kami mungkin bukan alasan yang kuat untuk membatalkan rencana-rencana mereka yang lain.
Aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku begitu terpanggil menyaksikan pembongkaran ini. Mungkin karena aku berharap bisa bertemu sahabat-sahabat lamaku. Mungkin juga karena aku hanya ingin datang dan menyaksikan gedung di dalam ingatanku untuk terakhir kali, mengukirnya di dalam ingatanku sebelum gedung tersebut dihancurkan.
Pukul delapan pagi, para petugas pembongkaran sudah berbaris rapi di depan gerbang sekolah. Ada mesin pengeruk yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka melaksanakan apel pagi. Melihat mesin sebesar itu di tengah perumahan pinggiran Jakarta seperti ini terasa aneh. Rasanya seperti melihat cemara pensil tunggal yang menjulang begitu tinggi di tengah-tengah semak belukar. Hanya saja, cemara pensil ini berwarna kuning manyala, terbuat dari besi, dan mampu menghancurkan bangunan dengan lengannya yang kukuh.
“Bayu,” sebuah suara menyapaku. “Udah lama?”
Ketika menoleh ke arah sumber suara tersebut, aku mendapati Angga berjalan lambat menghampiriku. Kemeja hijau mudanya tergulung dan dasi merah tuanya terselip di saku. Sol sepatu kulitnya menimbulkan bunyi terseret parau tiap bergesekkan dengan aspal.
“Baru aja sampai,” jawabku sekenanya, mengembalikan perhatianku pada gedung yang sebentar lagi akan musnah.
Angga.
Kami pertama berkenalan persis di sekolah ini sekitar lima belas tahun yang lalu. Bagaikan menonton film dokumenter, aku bisa melihat sosok Angga kecil dengan jelas, lengkap dengan seragam merah-putihnya, juga dengan dasi merah bertali karet yang menggantung kendur di lehernya. Kulit sawo matangnya mengilap memantulkan cahaya matahari setiap kali dia bermain futsal di lapangan.
Angga menyalakan sebatang rokok, kemudian mengisapnya perlahan. Seketika saja bau rokok menguar. Biasanya, aku tidak menyukai bau asap rokok. Namun entah kenapa hari aku tidak merasa terganggu.
“Yang lain ada yang datang?” tanyaku, mencoba memecahkan keheningan di antara kami.
Angga menggeleng, kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai memeriksa pesan-pesan yang masuk. “Gue udah ngajakin semua yang bisa gue hubungin. Rudi, Adrian, Melissa, Rina… tapi gak ada yang bisa datang.”
“Jadi dari angkatan kita, cuma ada kita berdua?”
Dia mengedikkan bahu, tapi menjawab dengan “iya”. Kami pun kembali terdiam, menyaksikan bagaimana para petugas yang baru saja menyelesaikan apel pagi mereka beranjak menuju posisi masing-masing.
Salah satu dari mereka memanjat mesin pengeruk dan menyalakan mesinnya. Langsung saja bunyi motor yang sangat nyaring meledak bagaikan petasan yang meletup tanpa henti. Dengung orang-orang yang berbincang di sekitar kami ikut berubah—dari yang tadinya berupa bisik-bisik tertahan menjadi kalimat-kalimat setengah seruan untuk melawan bunyi mesin yang bising.
Jemari Angga terus bermain lincah di layar ponselnya. Rokoknya masih terselip di bibirnya tanpa diisap.
Sejujurnya, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berbincang dengannya. Mencoba merangkum waktu menjadi rangkaian kata terasa seolah aku menyepelekan durasinya. “Lima belas tahun yang lalu”, misalnya, merupakan sebuah rangkaian kata yang bisa aku ucapkan dalam waktu kurang dari dua detik. Namun, ada bobot yang tak kasat mata yang kurasakan ketika mengingatnya; sebuah masa yang terasa begitu jauh dari segala sesuatu yang ada di masa sekarang.
Dulu Angga dan aku bersahabat. Kami menghabiskan banyak waktu bersama. Pada setiap jam istirahat, kami akan berlari-lari kecil menuruni tangga, berlomba menuju kantin sekolah sebelum anak-anak yang lain menyerbu tempat itu seperti pasukan semut yang mengerumuni bongkahan permen yang jatuh ke tanah.
Seusai jam pelajaran, ketika kami punya waktu sekitar empat puluh menit untuk beristirahat sebelum memulai ekstrakurikuler masing-masing—futsal untuk Angga dan menggambar untukku—kami biasanya akan bermain petak umpet. Peraturannya sederhana: kami boleh bersembunyi di mana pun selama masih di dalam sekolah.
Tempat persembunyian favoritku adalah di bawah meja guru di kelas 3D—ruang kelas yang pintu bercat birunya tidak pernah terkena cahaya matahari. Mungkin itulah alasan warna biru pintu kelas tersebut terlihat begitu jelas, tidak seperti pintu-pintu kelas lain yang cat birunya berubah pucat karena tersorot sinar matahari setiap hari.
Aku tidak selalu bersembunyi di sana, sebagian karena aku takut Angga atau yang lainnya akan menemukanku jika terus bersembunyi di tempat yang sama. Juga karena terkadang aku bisa mencium bau minyak angin yang sangat kuat ketika bersembunyi di sana, biasanya setelah Pak Anton—guru bahasa Indonesia kami yang punya kebiasaan memukul-mukul pinggangnya pelan sambil berjalan—mengajar jam pelajaran terakhir di kelas 3D. Aku membayangkan beliau mengoleskan minyak angin ke pelipis, dan selalu bertanya-tanya mengapa bau minyak angin itu bisa tercium di bawah meja.
Entah apa yang terjadi di antara kami—Angga dan aku. Kami masih bersahabat baik ketika kami beranjak ke bangku SMP. Namun, ketika kami duduk di kelas 1 SMA, kedekatan yang tadinya ada di antara kami bagaikan tidak pernah ada.
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ingatan merupakan sesuatu yang sangat selektif. Aku bisa mengingat banyak hal dari masa SMP hingga SMA: betapa panas lapangan tempat kami mengadakan upacara bendera pada pekan orientasi siswa baru, sejuknya berdiri di bawah ketapang kencana rindang yang berjejer di depan gerbang sekolah, ujian-ujian ketika aku mendapatkan nilai yang sangat rendah, majalah dinding sekolah yang pertama kali memuat artikel yang kutulis, juga malam perpisahan kami.
Namun ketika aku mencoba mengingat apa yang terjadi di antara momen-momen spesial tersebut, aku tidak pernah bisa mengingatnya dengan jelas. Rasanya bagaikan mengingat melodi dari lagu tanpa mengingat seperti apa musik pengiringnya—atau mengingat nada tanpa mengingat lirik dari sebuah lagu.
Mungkin alasan aku dan Angga tidak bersahabat sedekat dulu adalah sesuatu yang jauh lebih sederhana dari apa yang kubayangkan. Bisa saja kami menemukan teman-teman baru, kesibukan-kesibukan baru, serta minat-minat baru. Aku yakin perubahan tidak pernah datang secara tiba-tiba. Perlahan-lahan, seperti detik berganti menit, kemudian menjadi hari, bulan, dan tahun. Bagaikan bunga yang tidak bisa mekar dalam waktu semalam, atau pepohonan yang membutuhkan waktu untuk meranggas. Hanya karena kita menyadari perubahan tersebut secara tiba-tiba, bukan berarti perubahan tersebut terjadi secara tiba-tiba.
“Lo tau alasan kenapa sekolah kita dirobohkan?” tanyaku sambil setengah berseru.
“Banyak,” jawabnya pelan. “Alasan terbesarnya karena uang. Faktornya banyak: jumlah murid, lokasi bangunan…”
“Lokasi bangunan…?” selaku heran.
“Sekolah kita dibangun di dalam perumahan,” jawab Angga sambil membuang puntung rokoknya yang sudah habis sembarangan. “Sepertinya penduduk sekitar sini gak banyak berubah dibandingkan dulu. Lo bisa bayangin sendiri… kita, yang dulu sekolah di sini, sekarang udah dewasa. Gue rasa udah gak banyak lagi anak-anak yang tinggal di sekitar sini. Kebayang kan siapa yang masih tinggal di perumahan setua ini?”
Aku menghampiri puntung rokok yang dibuang Angga, kemudian menginjaknya untuk memastikan bara apinya padam. Melihatku tidak menjawab pertanyaannya, Angga pun melanjutkan.
“Lansia; pensiunan. Yang jelas orang-orang yang udah nggak butuh sekolah.”
Aku mengangguk pelan, kemudian kembali menyaksikan para petugas yang kini sudah mempersiapkan pembongkaran gedung dengan rapi. Aku bahkan tidak mengerti separuh dari apa yang mereka kerjakan. Salah seorang dari mereka yang mengenakan pakaian kerja berwarna jingga manyala memberikan instruksi kepada beberapa penonton untuk mundur lebih jauh lagi.
Orang-orang yang datang untuk menonton, baik yang mengenakan pakaian santai maupun pakaian formal, yang datang sendiri maupun bergerombol, berdiri membentuk barisan di belakang garis batas aman yang ditentukan petugas. Melihat mereka berjejer seperti itu membuatku teringat sekumpulan burung yang sering bertengger di dahan pohon depan rumahku. Satu per satu mereka akan hinggap di sana, menatap balik ke arahku seolah kami bisa berkomunikasi dalam keheningan. Aku tidak pernah tahu jenis burung apa yang kulihat, tapi mereka selalu ada di sana tanpa sedikit pun berkicau atau mengeluarkan bunyi selain kepakan sayap mereka yang sesekali terdengar lewat celah jendela.
Aku pun bertanya-tanya kapan mesin pengeruk itu akan mulai melakukan tugasnya ketika Angga kembali membuka suara.
“Lo inget dulu kita sering main petak umpet di sekolah gak?”
Aku tertawa.
“Kenapa? Ada yang lucu?” Ekspresi Angga tampak sedikit tersinggung.
“Gak kok,” jawabku cepat. “Gue juga baru aja teringat hal yang sama.”
Angga mendengus, tapi kemudian mengulas senyum. “Jujur, gue gak tau kenapa. Tapi sejak datang ke sini, gue jadi ingat banyak hal.” Dia mengeluarkan sebatang rokok lagi dari sakunya, tapi kemudian mematung selama beberapa saat dan mengembalikannya. “Gue ingat main petak umpet sama lo dan yang lain. Gue ingat Pak Anton yang selalu bawa minyak angin ke mana-mana. Gue juga ingat rasa soto ayam yang dijual di kantin, yang—”
“—yang dijual terlalu murah sampai nyokap kita curiga mereka gak pakai daging ayam beneran,” sambutku sambil ikut tertawa geli.
“Lo ingat dulu ada yang pernah jualan anak ayam di samping gerbang sekolah?” tanya Angga. “Anak-anak ayam yang bulunya disepuh warna-warni. Gue ingat pernah beli yang warna biru karena gue pikir warnanya lucu.” Dia menoleh ke arahku, kemudian tertawa miris. “Kasihan anak ayam itu. Gak sampai tiga hari kemudian dia mati. Gue ingat gue kubur anak ayam itu di taman. Di mana persisnya, gue bahkan udah lupa.”
Aku mendengar cerita Angga dalam diam. Sama seperti ingatannya akan anak ayam berwarna biru manyala itu, aku pun punya banyak ingatan akan tempat ini. Sungguh lucu betapa kita bisa mengingat banyak sekali hal mengenai suatu tempat ketika kita hendak berpisah dengan mereka.
Aku pun menimpali cerita Angga dengan cerita-ceritaku sendiri. Tidak butuh waktu lama sebelum kami berbincang seru. Kenangan akan seekor laba-laba yang membuat sarangnya di jendela kelas 3A, misalnya. Atau kenangan akan perpustakaan kami yang sempat ditutup selama setahun tanpa alasan jelas. Semua cerita-cerita itu terus bergulir tanpa henti. Aku pun tidak mau cerita-cerita itu berhenti, karena bagiku, dan juga mungkin bagi Angga, cerita-cerita akan masa lalu inilah yang masih menghubungkan kami—sepasang sahabat yang sudah tidak bertemu untuk waktu yang sangat lama.
Namun, semua kisah memiliki akhir. Dan ketika mesin pengeruk itu mulai menghancurkan atap gedung, kami sudah kembali terdiam. Cerita-cerita kami habis, keceriaan sesaat yang muncul karena mengenang masa lalu perlahan meredup bagai matahari terbenam.
“Lo tau,” kata Angga kemudian. “Gue sempat mikir… seandainya kita semua—seluruh alumni sekolah ini, nyumbang sedikit uang… mungkin sekolah kita gak perlu sampai dirobohkan begini.”
Aku mengangguk. Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Jika untuk menyaksikan sekolah kami dibongkar saja mereka tidak mau, aku ragu mereka rela menyisihkan uang untuk membantu memelihara kelangsungan hidup sekolah ini. Lagi pula, cepat atau lambat sekolah ini akan ditutup. Sumbangan uang dari kami mungkin akan membuat mereka bisa beroperasi selama beberapa hari, bulan, atau setahun lebih lama. Namun, selama tidak ada murid baru yang hendak bersekolah, gedung ini pun akan kehilangan tujuannya didirikan.
Bunyi dentuman-dentuman di depan kami terus berlangsung. Aroma debu dan asap mesin diesel, juga bau menyengat sesuatu yang terbakar bercampur aduk jadi satu. Begitulah kami menyaksikan gedung sekolah kami dibongkar perlahan-lahan. Dari puncak atap bangunan sampai ke dasar.
Ketika kupejamkan mata, aku bisa mendengar deritan kayu yang sangat jelas setiap kali mesin pengeruk meraup puing-puing dan menyebabkan dentuman kencang. Aku membayangkan ada meja dan kursi kayu di dalam ruangan kelas yang ikut dihancurkan bersama ruangan tempat mereka berada. Aku membayangkan meja guru tempatku bersembunyi dulu—pasrah menunggu reruntuhan bangunan yang akan menghancurkannya.
Angga menyalakan rokok kembali. Apakah dia menyaksikan keseluruhan pembongkaran, atau memejamkan matanya sepertiku? Aku tidak tahu. Namun aku membayangkan ada gejolak perasaan sama yang dia rasakan—sebuah perasaan yang datang seperti angin angin kencang yang membuat dedaunan bernyanyi dalam gemeresik, tapi tidak cukup kencang untuk menumbangkan pepohonan.
Ketika kubuka mata, aku sudah tidak bisa mengenali gedung di hadapanku. Bingkai bangunan tersebut sudah dihancurkan. Tidak ada lagi atap merah tua dan dinding-dinding yang dicat krem pucat. Yang tersisa hanyalah puing-puing kelabu, juga pagar yang mengelilingi sekolah, memberi tahu siapa pun yang lewat bahwa dulu, sebelum berupa reruntuhan, ada bangunan yang pernah berdiri di sana.
Perlahan-lahan, orang-orang yang tadinya berkumpul untuk menonton pun pergi bagai burung-burung yang mengepakkan sayap, seekor demi seekor meninggalkan dahan tempat mereka beristirahat beberapa saat yang lalu.
Para petugas yang ada terus berhamburan, memarkir mesin pengeruk, membersihkan puing-puing yang berserakan, juga mengatur orang-orang yang datang menonton.
“Gue balik duluan, ya.”
Aku menoleh ke arah Angga, yang telah menghabiskan rokoknya lagi. Dia mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celananya, kemudian menyeka keringat di dahinya. “Dua jam lagi gue ada meeting. Gue harus jalan sekarang kalau gak mau terlambat.”
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Angga. Aku ingin bertanya apakah dia ingat alasan kami berdua menjauh, “Apa yang menyebabkan kami tidak berteman sedekat dulu?”
Aku ingin bertanya bagaimana perasaan dia menonton gedung sekolah kami dihancurkan. Apakah dia merasakan embusan angin yang sama dengan yang kurasakan tadi? Angin yang membuat dedaunan menari, ranting-ranting merintih, gedung-gedung berguncang, dan kenangan-kenangan masa lalu terusik?
Alih-alih menanyakan semua itu, aku hanya mengulas senyum dan mengangguk. “Sampai ketemu.”
“Kabar-kabarin kalau mau ketemuan,” ujar Angga. Dia menjabat tanganku dengan kaku dan menepuk-nepuk bahu kiriku perlahan sebelum berjalan pergi. Dia masuk ke mobil—sebuah mobil van hitam yang mengilap seolah baru dicuci. Beberapa saat kemudian, mobil itu melaju, meninggalkanku dan sekolah kami tanpa berhenti.
Kukeluarkan ponsel dan kucari nama Angga di semua media sosial yang kupunya. Aku bisa menemukan akunnya dengan mudah. Bahkan kami sudah berteman di sebagian besar media sosial tersebut. Seharusnya tidak sulit bagi kami untuk membuat janji bertemu.
Lalu aku teringat akan sosoknya yang tadi berdiri di dekatku. Angga yang merupakan sahabatku, dan Angga yang datang kutemui hari ini… apakah mereka orang yang sama?
Bunyi dentuman dan mesin pengeruk akhirnya berhenti. Sudah lewat tengah hari. Aku bisa merasakan cahaya matahari yang terik perlahan membakar tengkuk dan alas kakiku.
Kuperiksa saldo rekeningku melalui aplikasi di ponsel. Kuperiksa semua tabunganku yang lain—mulai dari Maxi Saver sampai investasi saham dan reksa dana kecil-kecilan yang kucicil sejak pertama kali bekerja.
Aku bertanya-tanya apakah aku bisa mempertahankan hidup dari sekolah ini, bahkan untuk sehari saja, jika aku menyumbangkan semua yang aku miliki.
Aku kembali teringat akan Angga, juga pohon yang ditebang di masa kecilku.
Setelah mencuri pandang ke arah reruntuhan sekolah untuk terakhir kalinya, aku akhirnya beranjak pergi.
Gak, batinku. Gak ada pohon yang mati secara tiba-tiba. Begitu pun sekolah ini. Begitu pun persahabatanku dengan Angga.
Aku yakin aku akan bertemu Angga lagi. Di suatu tempat. Di suatu waktu. Namun, apakah kami masih akan bertemu sebagai sepasang sahabat? Atau akankah kami bertemu sebagai orang asing bagi satu sama lain? Aku tidak tahu.
Hari ini aku melihat gedung sekolah dasarku dirobohkan. Apakah aku akan menyaksikan lebih banyak lagi hal serupa dalam hidupku? Apakah aku akan hidup cukup lama untuk menyaksikan gedung SMP, SMA, atau bahkan rumah masa kecilku dirobohkan?
Dalam perjalanan pulang, ketika bus umum yang kugunakan berhenti sejenak, aku melihat deretan pohon ketapang kencana yang berdiri tegak di kejauhan—persis seperti yang ada di depan gerbang sekolahku dulu. Batangnya ramping dan tinggi, tapi aku bisa melihat dedaunannya yang jatuh berguguran, sehelai demi sehelai, menghitung mundur waktu mereka yang tersisa di bumi.
Sehelai Demi Sehelai merupakan cerpen pemenang Kompetisi Menulis Fiksi Jenius Co.Create.
Mau cerpenmu di-publish? Yuk submit naskahmu di sini!
Comments ( 4 )