Karakter favoritku jelas pemeran utama yaitu Ranin dan Kasya, Kak. Endingnya manis banget, suka sama pilihan Kasya dan ketegasannya hihihi.
“KITA—”
“Aku harus pulang,” tutur Kasya lugas sebelum Ranin meneruskan jawaban atas pertanyaan Ibu. ”Tante, Om… terima kasih banyak atas ajakannya. Sekali lagi, happy anniversary.”
Ibu menoleh ke arah Ranin yang cepat-cepat beranjak dari kursi, hendak mengejar Kasya. Tatapan wanita itu setengah melotot, seolah memerintah putranya: “Ayo, kejar dia!”
Tentu saja Ranin tidak perlu diingatkan lagi soal itu.
“Kasya!” Agak panik, Ranin meraih jemari perempuan itu. “Tunggu dulu. Aku bisa jelasin semuanya—”
Kasya berhenti mendadak sebelum menapaki tangga lobi restoran. Ekspresinya kusut sekaligus limbung. “Lucunya, Ranin, aku bahkan gak yakin butuh mendengar penjelasan itu. Kamu bebas melakukan apa pun, dengan siapa pun.”
“Aku gak bermaksud melakukan semua itu dengan Jehan. Aku minum karena ditantang Angga, lalu mabuk, kemudian semua itu terjadi,” papar Ranin, terlalu bernafsu membeberkan kebenaran di balik kegaduhan tersebut.
Video blurry itu tidak seviral yang Ranin perkirakan, apalagi sampai ke tangan Ayah dan Ibu. Bahkan, orang tuanya terlihat tidak sadar akan apa yang terjadi. Namun, bukan itu yang Ranin khawatirkan, terlebih sejak kehadiran Kasya dalam kehidupannya lagi. Hati kecilnya berharap video tersebut tidak pernah sampai ke tangan teman masa kecilnya itu.
“Kamu bukan peminum,” tandas Kasya, menyimpulkan.
“Dari dulu memang bukan.” Ranin menggeleng, tampak menyesal. “Dan antara aku dan Jehan hanya teman kantor. Gak lebih dari itu. Fokusku di Unity ya cuma kerja. Jadi, bukan Jehan yang selama ini aku sukai…”
Lantas, siapa? Sesaat, Kasya menanti penuh harap kelanjutan kalimat tersebut, tapi sadar dirinya tak cukup bernyali untuk bertanya. Sejak tadi, dia hanya memalingkan wajah, ciut menghadapi secara langsung—mendapatkan secara langsung jawaban yang begitu ingin dia dengar.
Persis seperti saat dirinya menghadapi realitas di luar… saat Mama meninggal dan dia memilih menenggelamkan diri dalam kesibukan, menghindari kehidupan yang dulu pernah dia kenal: sahabat, teman kuliah, kolega di kantor sebelumnya, sampai keluarga yang kerap dia jumpai saat perayaan Lebaran.
Menghadapi kepedihan dengan wajah tegak bukanlah pilihan Kasya, karena itu hanya memperlihatkan betapa derasnya air mata yang mengalir—dan dia benci dikasihani karenanya.
“Aku baru ingat harus meneruskan kerjaan di rumah.” Kasya memperbaiki letak tas jinjing di bahu.
Ranin tak mencegah kepergiannya. Begitu cepat waktu berlalu… mulai dari selintas mimpi, berubah jadi kedekatan tak terduga, hingga sampai pada detik-detik yang mengindikasikan perpisahan.
Dengan kesal dia meninju dinding bata di samping dengan sekuat tenaga. Dia tidak mempedulikan sensasi perih yang dengan cepat merebak di jemarinya.
* * *
Mungkin Edgar benar.
Mungkin Kasya semestinya menjalani kehidupan yang dia tahu selama ini: tinggal di kastel milik papanya, membiarkan Edgar menjemputnya, dan siap-siap jadi Nyonya Rumawas seperti dulu Mama menjadi Nyonya Kusuma.
Sepulang kantor, Kasya kembali dijemput Edgar dan mereka makan malam di Castelli, restoran Italia yang tidak mengizinkan pengunjungnya memakai sandal jepit meski keluaran desainer papan atas yang fancy sekalipun. Di sana mereka bertemu mantan pacar Papa waktu SMA bersama seorang politikus ternama, lalu di meja lain ada teman kuliah Edgar yang dulu hampir dideportasi dari Amerika Serikat lantaran aksi nekatnya saat bertengkar dengan sang pacar membuat sebagian Sound Night Club di Los Angeles terbakar. Sungguh tempat yang familier bagi Kasya; lingkungan yang diam-diam merupakan zona nyamannya sejak kecil.
Edgar mengeluarkan kotak kecil berwarna toska dari saku celananya, membuka cepat, lali memakaikan benda tersebut pada pergelangan tangan Kasya sebelum perempuan itu sempat bertanya.
Seuntai gelang emas putih bertakhta puluhan berlian mungil.
“Cantiknya…” Kasya terpana, tapi dengan cepat mengendalikan reaksinya. Perhiasan Tiffany & Co. ibarat sebentuk komitmen tanpa deklarasi—dan itu merupakan hal terakhir yang dia harapkan dari laki-laki di depannya. ”Aku gak bisa menerima ini, Edgar. Kita bahkan belum—”
“Tunangan?” Edgar menyediakan jawaban.
Kedua alis Kasya menekuk. Dia bahkan tidak berpikir sejauh itu. Meski keluarga mereka cukup dekat dan sekilas tampak serupa, dia yang sampai kini rajin menyisihkan uang ke tabungan Flexi Saver demi bisa mengembangkan Rumi tanpa harus menunggu kucuran dana dari Papa, masih takjub melihat betapa royalnya Edgar. Dia tentu takkan melakukan yang sama, terlebih Papa cukup ketat perihal pengeluaran bulanannya meski mereka termasuk orang berada.
Bagi Edgar, gelang ini tak seberapa dibandingkan dengan apa yang tengah dia perjuangkan. Perempuan dari kalangan atas sepolos—setekun—Kasya adalah berlian sesungguhnya.
Lebih dari itu, Edgar tak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Begitu tahu Kasya pulang dari rumah Dahlia tanpa menunggu kedatangannya—bersama si vendor pula—dia sadar harus segera bertindak. Si orang vendor rupanya sosok dari masa lalu, hadir dalam kehidupannya jauh sebelum dia dan Kasya saling kenal.
“Ini tanda perhatianku, Kas. Sama kayak waktu aku kasih kamu video kejadian heboh di LEÓN itu.”
Hati Kasya berdegup cepat. Bayangan Ranin bersama perempuan berbadan seksi itu kembali meninggalkan perih di hatinya. Merasa sakit hati sekaligus gengsi, perempuan itu menegaskan dirinya tak butuh penjelasan apa pun. Padahal, beribu pertanyaan berkecamuk di benaknya, berharap Ranin menjawab satu per satu sampai jelas—sampai dia puas mendengarnya. Sudah berapa lama Ranin mengenal Jehan? Apakah Ranin satu divisi, satu lantai, atau bahkan satu ruangan dengan Jehan? (Bahkan dia tidak tahu kondisi kantor Ranin—ruangan berkubikel atau open space?) Apakah Ranin dan Jehan benar-benar hanya sebatas rekan kantor?
Edgar menatap langsung mata Kasya sambil mengelus jemari perempuan itu. “Ikut aku ke London minggu depan.”
Seperti yang Kasya kenal, sulit membedakan mana pertanyaan, mana pernyataan, jika itu terlontar dari mulut Edgar.
“London? Mendadak banget—jauh banget liburannya.” Kasya membetulkan posisi duduknya sembari tertawa grogi.
“Ini bukan liburan. Kamu bakal lihat keberhasilan bisnis keluargaku memboyong produk organik lokal ke pasar Eropa, dan—” Seulas senyum penuh arti membingkai lelaki berambut kecokelatan itu. “—pada akhirnya, sadar siapa yang pantas jadi pendampingmu.”
Terlalu percaya diri.
Doyan menentukan arah.
Tak ada ruang buat diskusi.
Semua karakteristik yang mendarah daging di Papa, yang membuat Mama tak tahan, terhimpun jadi satu di sosok Edgar.
“Lagi pula, kita bisa sekalian liburan, kalau itu yang kamu mau.” Edgar tidak memberi kesempatan kepada Kasya untuk berbicara. “Kata Om Argya, Visa kamu masih berlaku.”
“Untuk hal seperti ini kamu bahkan bertanya ke Papa, bukannya langsung ke aku? Hidupku bukan diatur oleh Papa maupun kamu!” Kasya hampir tak mampu mengendalikan emosinya.
“Papamu cuma mau yang terbaik buat kamu, Kas.”
Makan malam di Castelli pun ditutup dengan sedikit cekcok yang membuat beberapa pengunjung melirik karena terganggu. Namun, Edgar tetaplah Edgar; semua yang keluar dari mulutnya adalah sederet perintah yang tak boleh dibantah, termasuk saat memastikan Kasya pulang diantar sopirnya, sementara dirinya melanjutkan acara bersama teman-teman dari komunitas pengusaha muda.
Malam ini Kasya tak berniat lekas pulang ke rumah Papa. Pasti hanya ada asisten rumah tangga yang menyambutnya—tak ada Papa maupun Nanda di sana. Dengan sedikit bujukan, dia berhasil meminta sopir pribadi Edgar agar menurunkannya di depan gedung dengan permainan cahaya neon warna-warni bilangan SCBD Sudirman. Gaun ungu mudanya melambai ringan tatkala dirinya setengah berlari menyusuri lobi yang sunyi ke arah lift.
* * *
Tap, tap, tap.
Kepala Ranin spontan terangkat mendengar derap sepatu hak yang mendekat ke arahnya. Sempat terlintas di benaknya ada makhluk halus muncul mengingat kini tak ada satu pun orang di ruangannya.
“Konsultan memang doyan lembur, ya?”
Mulut Ranin menganga lama, tak menyangka kehadiran sosok memukau itu di tengah senyapnya ruangan kantor yang makin membeku.
“Kok… sekuriti bisa izinin kamu masuk? Card reader di pintu utama rusak, ya?” Ranin tak dapat menahan senyum lebar mendapati kehadiran perempuan yang diimpikannya itu. Si kakak kelas yang makin lama makin solid mengisi relung hatinya.
Tak ada jawaban dari masing-masing pertanyaan itu lantaran Kasya sudah menghambur ke arah laki-laki yang sedang menutup layar laptop dan bersiap pulang di depannya.
“I missed you,” bisik Kasya, agak serak.
Tiga kata tersebut membuat Ranin tanpa ragu menarik leher perempuan itu untuk sebuah ciuman dalam dan bermakna, lalu menghentikannya dengan tiba-tiba sebelum dia tak mampu melakukan itu.
Kasya sesaat jadi linglung, sorot matanya menerawang. Dia hampir bertanya, “Kenapa berhenti?” Namun, menyadari bahwa dia telah mendapatkan bukti konkret bahwa Ranin, di luar figur atletis dan gaya kasual seperti kebanyakan urban dweller, tak lain merupakan tipikal “cowok baik-baik”.
“Nggg… mau cari makan?” Ranin meraih jaket lalu mengisyaratkan Kasya jalan lebih dulu dengan tangan di punggung gadis ini.
Anehnya, Kasya tidak merasa lapar meski belum mencicipi makan malam selain setengah porsi melon potong. “Ada yang lebih menarik dari makan?” Dia menatap Ranin penuh arti, diam-diam menggodanya.
Ranin terkekeh grogi seraya menggeleng. “Selama ini aku—seperti kata Angga dulu—cuma fokus kerja, kerja, kerja aja. Gak ada waktu untuk relationship sama sekali.
“Ranin… gak mau menikah? Well, maksudku suatu saat nanti.”
“Oh, bukan begitu,” ralat Ranin buru-buru. “Aku ingin punya sesuatu yang bisa dibanggakan dulu.”
“Like what?”
“A… Mercedes-Benz?” Ranin agak malu menyebutkan itu.
“Percaya deh, itu sama sekali bukan tolok ukur.” Kasya tersenyum tanpa sedikit pun berniat mengejeknya.
Keluar dari lobi kantor, mereka memutuskan berjalan kaki sambil menikmati semilir angin malam yang bertiup pelan. Mereka berbincang tentang segala hal, mulai dari meningkatnya permintaan stok Rumi, peluang promosi Ranin tahun ini di Unity, sampai topik serius—lebih tepatnya sensitif—tentang ajakan Edgar ke London. Ranin mendengar tiap cerita yang mengalir dengan saksama sembari melingkarkan jaketnya di bahu Kasya yang terlihat agak menggigil.
“Kasya, waktu pertama kali kita bertemu, juga saat mengunjungi makam Tante Rima, aku melihat kamu begitu tertekan—begitu menarik diri. Bukannya mau ikut campur, tapi apakah semua baik-baik aja? Kamu gak apa-apa, kan?”
Kasya memandangi lama mata Ranin, intens dan tanpa senyum, sebelum akhirnya menggeleng sekali. “Bukan cuma kamu, aku pun fokus kerja. Meski untuk alasan yang berbeda denganmu, Ranin.” Kemudian perempuan itu bungkam sesaat dengan kedua mata yang berangsur penuh air. “Aku selalu teringat Mama—Mama meninggal saat kami bertengkar, adu mulut… Mama meninggal karena aku!”
“Itu bukan salah kamu, Kasya. Tante Rima tentu—”
“Kamu gak mengalami yang aku alami—kamu gak tahu rasanya.” Mata Kasya berkilat marah. “Lebih dari itu, persahabatan Mama dan Tante Suri ikut berakhir karenanya. Mereka seharusnya bisa terus bersama sampai jadi nenek-nenek.”
Jadi, ini penyebabnya, batin Ranin, memilih berempati dengan kondisi Kasya ketimbang memberikan nasihat panjang lebar yang malah membuat perempuan itu kian meradang. “Kamu gak sendiri, Kas. Ada aku. Ibuku bilang, kita bisa meneruskan semua itu… silaturahmi yang pernah terjalin di antara Ibu dan Tante Rima.”
“What?” Kasya seakan-akan tak memercayai pendengarannya. Kedekatannya dengan Ranin setelah pertemuan di Portrait bukanlah sekadar kebetulan. “Jadi, semua ini karena disuruh Tante Suri?”
“Bukan, bukan. Maksudku sebenarnya—”
Wajah Kasya seketika merah padam. Rasa kesal yang meluap membuatnya tak ingin mendengar apa yang hati nurani bisikkan. “Hanya karena ibu kita dekat, terus kita berdua juga harus begitu?”
Tatapan tajam Ranin membuat Kasya tidak berseru lebih lanjut. “Oh, ya? Kata siapa itu—kamu atau Edgar?” tutur laki-laki itu kalem tapi mematikan.
“Tentu aja aku.” Kasya pun melenggang pergi dengan bunyi hak sepatu menghantam jalanan yang lebih keras dari saat kedatangannya ke ruang kerja Ranin.
* * *
“Aku ada meeting dulu di Fairmont sebelum kita boarding. Kamu udah siap, kan?” Edgar memastikan rencana tersebut, bingung mendapati kehadiran Kasya di rumahnya tanpa satu pun koper di tangan.
“Maaf, Edgar. Aku nggak ikut ke London.”
“Kamu—apa?”
Begitu mendengar nada tinggi majikannya, seorang asisten rumah tangga yang sedang mengganti bunga lili segar di vas segera menyingkir dari situ.
Kasya menarik napas perlahan, lalu kembali berkata, “Aku gak bisa ikut ke London saat nggak bisa memberikan hubungan lebih dari sekadar teman buat kamu.”
“Hanya teman…” Suara Edgar terdengar mendesis. “Jadi, benar ya kamu ada apa-apa sama si vendor?”
“Vendor?” Sebelah alis Kasya terangkat, menyadari penghinaan yang terkandung dalam ucapan itu. “Ranin adalah konsultan—dan aku gak tau apa maksud kamu dengan ‘ada apa-apa’.”
Gelang berlian itu dengan cepat berpindah ke meja kayu jati bergaya Calabaza di samping Kasya.
Edgar tidak bisa menerima pemberiannya dikembalikan begitu saja. “Kamu yakin, Kas? Harusnya kamu ambil aja buat biayain Rumi yang selama ini kekurangan dana, daripada ujung-ujungnya cuma bisa layoff.”
Meski tersentak, Kasya tidak membiarkan ucapan itu membuat lubang di hatinya. “Kekurangan dana? Justru Rumi—aku lagi bingung gimana memutar dana gara-gara peningkatan penjualan.”
* * *
Demi menenangkan gemuruh di benaknya lantaran sederet ucapan pedas Edgar tadi, Kasya pun mampir ke Portrait dan menyesap teh kesukaannya dengan mata terpejam. Jika waktu begitu cepat berdetak, inginkah Kasya menghabiskan itu bersama orang-orang yang membuatnya tidak nyaman, juga asing dalam kehidupannya?
Tanpa berpikir dua kali, Kasya langsung menghubungi Ranin untuk meminta maaf dan bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi—sekarang juga.
Tiba-tiba kepala Kasya tertunduk. Mendengar jawaban Ranin saat itu, dia pun terpekur. Apa dirinya tidak salah mendengar—Ranin kini sedang di IGD rumah sakit?
Ranin, Ranin, Ranin… Kamu sakit apa?
Kasya kontan memacu mobil SUV papanya ke sebuah rumah sakit pinggiran Jakarta tempat Ranin berada. Tak ada informasi lain tercetus dari mulut lelaki itu selain dirinya sedang berada di IGD; sesuatu yang justru membuat Kasya kian cemas.
Tanpa memedulikan rasa perih kala sepatu hak bertalinya beradu dengan permukaan conblock, Kasya setengah berlari ke arah meja administrasi IGD. “Ranindyo Sakha Abinaya,” tuturnya tergesa-gesa, ”pasien itu ada di mana? Saya… ngg… keluarganya.”
“Ranindyo? Tidak ada nama itu.” Petugas di ruang IGD memeriksa layar komputer. “Dari keluarga Abinaya, ada nama Suri Abinaya yang baru saja masuk ke sini.”
Kontan Kasya terkejut. Bukan Ranin yang terbaring di salah satu tempat tidur IGD, melainkan Tante Suri, dan itu membuat hatinya tak kalah terenyuh.
* * *
“Ranin! Tante Suri kenapa?”
Terkejut dengan suara Kasya menggema di ruangan, baik Ranin maupun ayahnya secara bersamaan mengangkat wajah ke arah pintu.
Mendapati ekspresi Kasya begitu kalut, Ranin mengusap punggung perempuan itu. “It’s okay, Kas. Tadi pagi setelah melukis, dada Ibu mendadak nyeri. Jadinya langsung dibawa ke sini. Untung hasil pemeriksaan EKG normal. Kemungkinan GERD Ibu kambuh karena belakangan asyik kerja sambil ngopi.”
Kasya tidak mampu melisankan apa pun lagi. Pertama, dia mengira Ranin jatuh sakit. Kini sahabat mendiang Mama terlihat tak berdaya, mengingatkannya akan kondisi terakhir Mama di rumah sakit sebelum meregang nyawa.
“Kas?” melihat perempuan di depannya tak hanya diam melainkan terisak pelan, Ranin pun memboyongnya ke luar ruangan. “Sini, sini.”
“T-Tante Suri—” Kasya menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
“Ibu gak apa-apa.” Ranin menariknya ke dalam pelukan. “Terima kasih atas perhatiannya, Kas.”
“Orang tua sering kali menganggap remeh, atau malah takut, dengan penyakit mereka. Akibatnya, mereka sering kali gak kasih tau kalau ada keluhan dan itu malah berbahaya.” Kasya mendongak untuk menatap langsung mata Ranin. “Harus ada yang mengingatkan Tante Suri, Ranin.”
“Aku bisa,” Ranin berkata mantap. “Tenang aja. Ada aku dan Ayah.”
“Aku juga ingin!”
“Kasya…” Ranin tergugah. “Tunggu di sini sebentar.”
Kasya bersandar di tembok sebelah bilik ATM seraya menatap ke langit biru. Cuaca siang ini cerah berawan, cocok untuk piknik, bukannya dihabiskan di rumah sakit. Pemikiran itu melintas di benak Kasya ketika menemani Mama di rumah sakit; hal serupa yang kini dirasakannya juga.
Ranin muncul dari balik pintu kafe tak jauh dari akses utama IGD dengan segelas jus jeruk.
“Trims,” Kasya menerima seraya tersenyum kecil. “Mereka dua sosok yang kuat—Mama dan Tante Suri.”
Ranin mengangguk setuju. “Inspirasi sejati,”
Keduanya terdiam.
Kasya berbisik sendiri, “Set your life on fire–”
“–and seek those who fan your flames.”
Impuls, Kasya menengok cepat ke Ranin.
Tak disangka-sangka, lelaki di sampingnya malah meneruskan ucapan itu menjadi kalimat utuh.
“Rumi. Itu quote Jalaluddin Rumi yang amat Mama sukai…” Kasya berbisik.
“Juga ibuku,” tambah Ranin.
“Karena itulah, nama Rumi kupakai untuk brand sepatuku.”
Suasana hati Kasya mendadak bangkit dan bergeliat, asa baru pun mengisi tiap ruang hatinya. Apa yang membuatku bersemangat? Dan, siapa yang hadir memberi kehangatan tanpa terintimidasi nyala apiku, terutama di saat Mama sudah tiada?
Tentu saja Kasya tahu jawaban dari semua itu.
“Kukira kamu di London, Kas…” Ranin menyentuh ujung jemari Kasya, sedikit ragu.
Kasya menggeleng, menanti reaksi Ranin akan semua yang telah dia lakukan sejauh ini—sikap akrabnya yang menyiratkan hubungan lebih dari sekadar teman, serta langkah berani yang dia ambil demi bersamanya, meninggalkan Edgar… berlawanan dengan keputusan Papa.
Kasya mengembuskan napas, agak keras. “Waktu terasa begitu cepat berlalu…”
“Terutama saat kita sibuk,” Ranin menambahkan.
“Oleh karena itu, aku gak pengin menghabiskan waktu cuma untuk mengubur kesedihan seorang diri lagi, Ranin. Mungkin permintaan Tante Suri, juga permintaan mamaku, adalah jawaban dari semua ini.” Raut Kasya tampak cerah sebelum akhirnya kembali jadi khawatir. “Meski semua terasa begitu berat—kadang aku masih susah tidur di malam hari… kadang mimpi buruk ikut mampir.”
“Ada aku,” kata Ranin tegas, menunjukkan kesungguhan hatinya. “Kamu bisa berbagi ke aku. Kapan pun.”
Kasya mengangguk. Setitik air terbendung di ekor matanya. Tangannya terjulur, tapi bukan untuk menyeka air mata tersebut, melainkan mengusap pelan pipi kiri Ranin. “Itulah kenapa aku gak ikut ke London.”
“Kasya… jadi, maksudmu…?”
Mendapati Ranin tetap bengong, terlihat masih berusaha mencerna status hubungan mereka yang kini berubah drastis, Kasya pun tertawa renyah. “Aku memilih kamu, Ranin.”
“It will be nothing like a fairy tale.” Ranin menatap lurus ke manik mata si mantan kakak kelas, memberi peringatan akan tantangan yang menanti mereka di masa mendatang.
“And I’m not looking for a prince charming to make me happy, nor to solve all my problems,” tandas Kasya. “I want you, Ranindyo. I want us to be—”
Ranin mengulum sisa pernyataan tersebut dalam sebuah ciuman lama, kemudian melanjutkan ucapannya, “Happy together?”
Kasya spontan mengangguk-angguk dalam ekspresi ceria nan khas—ekspresi Mimi kecil yang selalu terpatri dalam ingatan Ranin.
(Selesai)
Bagaimana akhir cerita Detik Tanpa Jeda menurutmu?
Siapa karakter favoritmu di cerita bersambung ini?
Langsung tulis di kolom komentar, ya!
Comments ( 7 )