Demi memberi apresiasi cerita Detik Tanpa Jeda, baru hari ini buat akun Jenius Co.Create 💓.
**
Alur ceritanya ringan dan penuh kejutan dari berbagai pihak. Pastinya terbayang suasana di Portrait dan perasaaan ikut terbawa. Semakin menarik dengan sudut pandang perbedaan gaya hidup diantara mereka.
Belum baca bagian pertama dari Detik Tanpa Jeda?
Langsung klik di sini, ya!
_____
KONTAN Ranin terkejut dengan kemunculan Kasya secara tiba-tiba di belakangnya. Belum sempat dia merespons lebih jauh, perempuan itu sudah melanjutkan, “Buatku, Portrait udah kayak rumah kedua.”
Sepuluh detik berlalu dan Ranin tetap bungkam. Degup jantungnya tak juga kunjung tenang.
“Kamu sibuk? Udah makan? Sekarang di sini gak cuma sedia camilan. Bisa makan besar juga. Nasi liwetnya juara!” Kasya mendorong pintu kedai lebar-lebar, tapi tidak melangkah masuk, menunggu Ranin yang masih mematung.
Kedua mata Ranin pun menyipit, diikuti ekspresinya yang kian relaks. Tumben, sore ini Kasya cukup cerewet. Mungkin suasana hatinya sedang bagus.
Meski begitu, Ranin tetap tak mampu melupakan esensi pahit ucapan Kasya tentang perbedaan mereka—tentang Kasya yang tidak mungkin bersekolah di SMA negeri seperti dirinya. Sebuah pendapat angkuh tapi lumrah yang keluar dari mulut perempuan yang terbiasa naik Alphard sejak lahir.
“Oke, kamu masuk SMA 70, lalu lanjut ke UI.”
Di tengah obrolan, Kasya kembali mengangkat topik tersebut.
“Gak cuma jago olahraga, sejak dulu Ranin memang pintar. Beda banget kan sama aku?” lanjut Kasya lagi.
“Jadi, itu maksud omongan kamu waktu itu?” Ranin tak menyangka akan mendengar klarifikasi secepat ini.
“Memangnya apa lagi?”
Senyum tipis serta-merta mengembang di wajah Ranin. Ternyata celotehan Kasya beberapa hari yang lalu bukan untuk merendahkannya.
“Aku turut berdukacita atas kepergian Tante Rima. Pasti gak gampang ya buat kamu?” Ranin teringat, selama ini dia belum pernah menyampaikan belasungkawa secara langsung. Setahun telat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tidak ada respons.
Perubahan air muka Kasya yang jadi pucat membuat Ranin sadar bahwa dia baru saja mengangkat topik tabu. Ingin rasanya ia menelan kembali kata-kata itu.
“Jadi,” Ranin mendeham pelan, “kesibukan kamu apa sekarang? Well, selain membangun Rumi?”
Kasya tampak terkesan. “Kamu tau Rumi?”
Ranin terkekeh, sedikit malu lantaran ketahuan sudah menggali info. “Sebenarnya aku dengar ini dari Angga dan Dewo. Kata mereka, teman-teman kantor pada pake brand itu.”
“Wah! Benar begitu?”
Ranin mengangguk. “Sayang brand kamu gak ngeluarin sepatu laki-laki.”
Jika ada hal yang tak berubah dari diri Kasya, maka keceriaan yang tiba-tiba muncul ini salah satunya. Kasya yang dulu Ranin kenal adalah sosok yang ekspresif.
“Hmm… bisa dipertimbangkan. Mungkin nanti kamu tertarik jadi modelnya?”
“Kamu yakin itu malah gak bikin sale jadi drop?”
Mereka tersenyum lebar. Baik Ranin dan Kasya tidak sungguh-sungguh berkata demikian. Candaan tak lekang waktu itu hanya dipahami mereka berdua, tercetus terakhir kali saat keduanya masih belasan tahun. Meski usia mereka terpaut tiga tahun, kebersamaan yang begitu intens di masa lalu menjadikan hal itu bagai tak berjarak.
Pertemuan kali ini terasa jauh lebih cair meski Kasya sesekali masih menutup diri; beberapa pertanyaan Ranin mengambang di udara dan tidak mendapatkan jawaban jelas.
Tanpa intensi yang terutarakan, pertemuan-pertemuan berikutnya pun terus bergulir, seperti playdate mereka di masa lalu. Awalnya hanya sesekali, kemudian berubah jadi kegiatan rutin. Portrait tidak menjadi satu-satunya pilihan tempat; kadang di rumah makan Padang sebelah butik sekaligus kantor Rumi maupun Starbucks yang berada di gedung sama dengan kantornya Ranin.
Anehnya, bersama Kasya topik baru selalu mengalir. Kasya kecil yang diingatnya kerap merajuk ke Tante Rima lantaran tidak boleh kebanyakan makan es krim setelah berenang, kini menjelma jadi rekan seru—dengan manik mata sesekali mengerling antusias—saat bertukar pendapat.
Pekerjaan selalu jadi topik favorit mereka, terutama setelah Kasya tau Ranin bergabung dengan Unity Consulting, perusahaan management consulting ternama asal Amerika Serikat.
“Mungkin sebentar lagi Unity bisa masuk ‘The Big 4’. Nanda juga kepingin kerja di situ. Tapi kamu tau dia, kan? Sejak SMA cuma asyik gonta-ganti velg mobil Papa. Waktu berharganya banyak terbuang.”
“Semua mobil yang Nanda dandanin pasti keren,” Ranin memuji tulus. Ada dua golongan menonjol saat pergaulan masa mudanya dulu: mereka yang dapat mobil saat ulang tahun ketujuh belas dan mereka yang cuma traktir teman-teman dekatnya di McD. Tentu saja Kasya dan Nanda masuk golongan pertama.
“Tetap aja dulu Mama gak suka,” Kasya sedikit bersungut. “Mama sering gak setuju sama cara Papa memanjakan kami. Aku merasa influence itu—gaya hidup secukupnya—banyak didapat Mama dari Tante Suri.”
“Oh, begitu…” Sejujurnya, Ranin tidak mengetahui corak pertemanan Ibu dan mamanya Kasya sedetail itu. Yang dia lihat, Ibu dan Tante Rima rutin bertemu setidaknya dua kali dalam sebulan pada akhir pekan. Sebuah komitmen yang, menurut Ranin, luar biasa kuat mengingat keduanya merupakan wanita dengan seabrek kegiatan.
Diam-diam, Ranin memperhatikan ekspresi lawan bicaranya. Wajah Kasya tidak berubah jadi pucat kala membahas Tante Rima—tidak seperti sebelumnya. Padahal, dia nyaris yakin kalau Kasya bakal meninggalkannya begitu saja kalau dia tak sengaja mengangkat topik sensitif tersebut. Mungkinkah Kasya mulai menikmati momen berbagi kenangan dengan dirinya?
Sementara itu Ranin pun merasakan yang sama. Memori masa kecil yang semula samar-samar, belakangan muncul kembali ke permukaan, sampai-sampai dia mulai berharap ada pesan masuk di ponselnya yang menanyakan: “Hari ini kita mau ketemuan di mana?”
“Aku paling ingat gimana serunya mereka ngobrol pas kita berenang di rumah kakekmu, Kasya.”
“Oh iya!” Kasya tergelak. “Itu karena Mama dan Tante Suri gak perlu jagain kita lagi—kita udah jago berenang!”
“Betul. Mereka asyik ngobrol dan kita asyik tembak-tembakan pake pistol air!”
“Persahabatan mereka sangat menginspirasi, ya?” tutur Kasya setelah menyeruput teh hijau—ryokucha—minuman favoritnya selain kopi hitam.
“Banget.” Ranin tersenyum sependapat. Kemudian dia melirik ke luar jendela Portrait. Hari tampak cerah, bahkan sinar matahari sore sedang terik-teriknya. Barusan tepat pukul empat dia keluar dari kantor; sengaja hanya cek beberapa kerjaan lantaran semalam kerja hingga lewat tengah malam. Begitu ada kesempatan pulang cepat begini, biasanya dia langsung bertolak ke rumah dan molor lebih cepat. Namun, dorongan untuk bertemu Kasya malah lebih kuat.
“Yuk! Mumpung masih terang…” Ranin tak membuang waktu untuk segera bangkit dari duduknya.
Kasya tampak heran. “Yuk ke mana?”
“Makam Tante Rima. Aku ingin mengirimkan doa.”
“Oke, Ranin…” Kasya tertegun hingga dirinya tak sadar telah mengiakan begitu saja rencana lelaki ini tanpa mengintip agenda sama sekali.
Semesta bak tengah membuka jalan selebar-lebarnya ketika Ranin dan Kasya dapat menempuh perjalanan membelah area Kemang yang biasanya macet selama kurang dari dua puluh menit.
Langit sudah berubah keabu-abuan tatkala mereka tiba di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut. Di sana, Kasya bersimpuh lalu menebar segenggam kelopak mawar dan melati segar tanpa tergesa-gesa, seperti sedang menyapa mendiang ibunya dalam seuntai percakapan hangat.
Tepat setahun berlalu sejak kepergian ibunya, tapi rasa perih masih menggelayut di benak Kasya. Tak ada lagi perhatian sehangat selimut melingkupi tubuh kala dia merasa stres menghadapi tuntutan pekerjaan. Tiada juga teman berbincang soal setelan mana yang lebih cantik untuk dikenakan ke Jakarta Fashion Week. Kasya bak kehilangan separuh napas.
Ranin ikut menekuk lutut dan menyodorkan botol berisi air mawar ke Kasya, tapi perempuan itu mempersilakan dirinya yang menyiram.
“Hai, Ma. Ini Ranin. Masih ingat, kan? Ranin yang dulu gampang panik saat berenang dan pas SMP malah jadi andalan klub renang sekolah. Pasti kaget ya aku datang bareng dia?”
“Kasya…” Ranin tersenyum sumir. Perlahan dia melirik ke samping. Saat mereka berdua sama-sama berlutut, figurnya kini menjulang dan Kasya terlihat mungil. Padahal dulu saat masih SD, Kasya lebih tinggi dibandingkan dirinya.
Saat matahari petang menebarkan sinar terakhirnya ke seluruh penjuru langit, mereka beranjak pergi. Mobil Ranin kembali melaju.
Ada rasa lega di hati Ranin mendapati ziarah sore mereka tidak memicu gestur sedih berkelanjutan dari Kasya. Dia pasti bakal merasa bersalah kalau itu terjadi lagi.
“Aku mau ke kamar mandi,” Kasya tiba-tiba berceletuk.
“K-ke kamar mandi?” Ranin menoleh agak kagok seraya menyetir. Dia mengutuki dirinya yang malah menangkap ucapan itu sebagai, “aku mau kita ke kamar mandi”. “Oh. Toilet, maksudnya?”
Kasya mengangguk. “Tenang, aku bisa pee di kloset jongkok.”
Kedua alis Ranin menekuk, tak paham apa maksud pengumuman tersebut.
“Mama dulu gak bisa—too posh to do that sort of thing.” Kasya menahan senyum, menjadikan ekspresi datarnya sedikit lebih cerah. “Terus akhirnya jadi bisa karena diajarin Tante Suri.”
Ranin teringat tempat mana yang memiliki WC bersih. “Kita bisa mampir ke Starbucks dulu—”
“Gak usah. Cari pom bensin aja.”
“Pom bensin?” Ranin sempat bengong. “Oke. Di sekitar Kemang harusnya ada.” Dia pun tersenyum penuh arti. Satu poin baru terukir buat nona yang selama ini dia kira si putri manja.
“Aku sangat menghargai semua ini, Ranin,” ucap Kasya tiba-tiba.
“Ah, cuma bantu cari pom bensin…”
Kasya menggeleng dengan mata terpejam. “Terima kasih udah mengunjungi makam Mama.”
Diam-diam Ranin tersentuh dengan ucapan tulus berselimut raut apa adanya itu. Hanya dalam beberapa kali pertemuan dia merasa menemukan beberapa lapis karakter Kasya yang beragam; sekilas angkuh, di lain kesempatan penuh semangat, dan kini polos bak anak kecil. Sepertinya, Ranin memiliki alasan lain untuk meneruskan pertemanan ini. Bukan semata demi mengamalkan titah Ibu.
Kasya mengernyit tatkala menyadari seperti apa nuansa interior mobil Ranin. Tatapannya beralih dari pengharum mobil ke gantungan kunci yang bergoyang-goyang. “Banyak warna biru di sini.”
“Oh, itu…” Ranin melirik sedikit sambil tersenyum sebelum kembali ke arah jalanan. ”Nyokap yang pilih, soalnya dulu aku suka warna biru. Ya, dulu. Begitulah kita di mata orang tua, dianggap masih kecil terus.”
Kasya mengangguk, kemudian kembali diam, tampak merenungi sesuatu dengan mimik serius.
“Let’s go to Snow & Scoop!” seru Kasya tiba-tiba.
“Snow & Scoop?” Ekspresi Ranin tampak bertanya-tanya.
“Dulu kamu suka merengek ke Tante Suri buat beli es krim goreng di situ abis berenang. Masih jadi dessert favoritmu, kan?”
“Memangnya Snow & Scoop masih ada?” Ranin tampak setengah tidak percaya. Rasanya sudah lama dia tidak mencicipi dessert kesukaannya di bangku SD sampai-sampai menganggap gerai es krim tersebut sudah lama tutup.
“Masih dong! Kutraktir, ya?”
“Please no! Sampai sekarang kamu bahkan gak mau kasih tau Cashtag-mu buat ganti traktiran yang lalu.” Ranin kemudian terdiam, tampak merenungi sesuatu. Dia menikmati kebersamaan mereka, tapi tidak nyaman dengan Kasya yang berkeras membayar semuanya. Berikutnya, dia harus lebih sigap mengeluarkan dompet.
“It’s okay, Ranin. Selama ini kan memang aku yang ngajak,” ujar Kasya sambil mengamati sekilas figur atletis Ranin di sebelahnya. “Ngomong-ngomong, kamu masih makan es krim, kan? Atau itu sudah dicoret dari daftar dietmu?”
“Aku gak diet.” Ranin spontan tertawa, melayang di langit ketujuh. Apakah Kasya kini sedang memujinya? “Oke, kita ke Snow & Scoop.”
“Yeay! For old times’ sake.”
Bersama Kasya, detik-detik bak berputar balik ke masa lalu dan, sejujurnya, Ranin tidak keberatan ikut mengembara di dalamnya.
* * *
Suara pengunjung yang ikut bernyanyi saat penampilan live band The Soulful menambah gempita pesta di LEÓN, sebuah lounge di bilangan selatan Jakarta malam itu. Sederet botol—mulai dari Jack Daniel’s sampai Don Julio Blanco—beserta tumpukan ponsel dan clutch anekawarna berserakan di meja. Tak ada yang peduli dengan barang milik masing-masing saat countdown tahun baru dimulai.
Bagi Ranin, malam terasa panjang. Efek alkohol baru terasa menendang—mengambil alih kesadarannya setelah seloki ketiga.
Bersiap dengan seloki keempat, tiba-tiba sepasang tangan dengan jemari lentik berpoles basic red manicure merangkul tubuhnya dari belakang.
Sedikit terhuyung, Ranin pun berbalik dengan senyum mengembang, ingin tahu siapa gerangan yang memberinya kehangatan.
Tatapan sayu nan seksi Jehan-lah yang menyambutnya saat itu.
“Kamu mabuk…” bisik Ranin, menyadari betapa dekat wajahnya dengan si rekan kantor berambut ikal setelinga itu.
Samar-samar, seruan pertanda tahun telah berganti menggema jauh di balik telinganya.
“Kamu juga.” Napas Jehan sedikit terengah-engah lantaran tadi asyik turun ke lantai dansa.
“Gak!” Ranin menyalak, setengah panik, setengah defensif.
“Mungkin kamu harus sering kayak gini biar kita bisa ngobrol, Ranin sayang.” Tangan Jehan merayap turun dari kerah kemeja Ranin.
Setengah gusar dan setengah terjaga, Ranin pun mengerahkan tekad yang tersisa demi sebuah peringatan terakhir. “Jangan, Je—”
Jehan langsung menutup percakapan singkat itu dengan ciuman penuh hasrat seraya mencengkeram bagian depan pakaian Ranin, sementara lelaki itu sama sekali tidak mengelak.
* * *
Ranin sekonyong-konyong mematung di mulut pintu Snow & Scoop. Kejadian beberapa pekan lalu kembali membayangi ingatannya saat mendapati seorang perempuan sedang menikmati es krim tak jauh dari pintu masuk, melambai ke arahnya dengan sikap percaya diri yang tumpah ruah.
Sosok yang tak lain adalah Jehan.
Tiap kali mengingat peristiwa di LEÓN—kesalahan fatal yang tak bisa dihapus itu—Ranin selalu bergidik. Dia yang bukan peminum—bahkan tidak berpredikat sebagai social drinker—menerima taruhan Angga untuk menenggak minuman keras yang sebelumnya sudah dibuka pada ajang new year’s office party. Kebiasaan itu tidaklah aneh mengingat kantor pusatnya di Texas, Amerika Serikat, selalu menyediakan bir gratis di kantor tiap Jumat malam; sesuatu yang tak pernah dia ikuti lantaran dia memang tidak minum, kecuali malam itu.
Sialnya, adegan nyaris semenit itu sempat tertangkap kamera ponsel meski situasi sekitar remang-remang dan siluet mereka tidak terlalu jelas. Sampai akhirnya Ranin tak sadar melangkah mundur dan terjatuh ke sofa di belakangnya. Pergumulan tersebut tak berlanjut; Ranin berusaha bangkit dari duduk dan tak berhasil, sementara Jehan muntah dalam posisi merangkak hingga mengenai sepatu Angga.
Kata orang, Jehan suka bermain api. Baginya, api yang paling sulit dipadamkan adalah Ranin; sosok yang selalu absen saat beer night, tapi tidak menghakimi para pengabdi miras berkualitas yang selalu disediakan gratis oleh kantor… lelaki yang datang ke kantor untuk bekerja secara profesional dan tak pernah melakukan quid pro quo ke siapa pun, terutama perempuan sepertinya.
Jehan yakin kalau orang sesempurna Ranin punya kelemahan. Sayangnya, dia tidak mengantisipasi perasaannya sendiri dalam proses pencariannya itu; dia telanjur jatuh cinta.
“Ranin!”
Dari samping Jehan, Angga dan Dewo menyahut hampir bersamaan. Di depan mereka tampak piring berisi banana split dan brownie a la mode yang lebih cocok disebut menu makan malam ketimbang dessert gara-gara porsi jumbonya.
Seketika Ranin jadi kaku; ekspresi semringah yang sejak tadi menghiasi wajahnya pun sirna.
Kasya mengikuti arah pandang Ranin. “Teman kantormu yang waktu itu ketemu di Portrait, kan?”
Ranin mengangguk sekenanya.
Setelah memesan es krim goreng dan segelas sundae, Ranin mengarahkan Kasya ke meja terdekat dari konter kasir, sengaja tidak bergabung dengan rekan kantornya.
Kerikuhan tersebut tentunya tak luput dari pengamatan Kasya. Tatapan Jehan yang terus melekat ke arah Ranin membuatnya beberapa kali melirik ke arah perempuan itu, lalu ke Ranin secara bergantian sambil menerka-nerka sejauh apa hubungan mereka berdua.
“Mau pindah dari sini atau tetap cobain es krim goreng?”
Ranin sempat tertegun; apakah Kasya menyadari perubahan air mukanya sehingga tercetus saran seperti itu?
“Es krim goreng dong, Kasya.” jawab Ranin. Dia memutuskan takkan mundur meski Jehan tengah bersantai—atau bahkan berniat mencari perkara—di ruangan yang sama dengannya.
Tanpa diundang, Jehan membawa gelas cold brew coffee & cream yang tengah dinikmatinya, kemudian mengambil tempat di sebelah Ranin. “Boleh gabung? Hei, aku Jehan.”
Ranin tidak siap dengan sikap blakblakan itu. “Sebenarnya—”
“Silakan.”
Dua jawaban berbeda yang dilisankan berbarengan oleh Ranin dan Kasya membuat Angga dan Dewo pun ikut pindah ke situ, merasa hubungan rekan kerja mereka dengan Kasya tak seintim yang dikira.
Meja mungil Snow & Scoop terasa lebih sempit dengan tambahan tiga orang. Tak ada lagi ekspresi serius nan ceria saat bercerita maupun candaan khas antara Ranin dan Kasya seperti yang tadi berlangsung. Kasya duduk tepat di depan Ranin, sedangkan Jehan di sebelahnya. Obrolan seolah bergulir seru, padahal mereka hanya mencari topik agar kesenyapan yang canggung tak lekas mengambil alih.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel di meja dan Kasya langsung menjawabnya.
Angga yang tak pernah ketinggalan berita masa kini langsung menghidupkan suasana dengan guyonan segar. Sesaat, semua kembali terlibat berkomentar—kecuali Ranin, juga Kasya yang masih terus berbincang via ponsel.
Di tengah ingar-bingar kedai es krim bak kelas TK bubar, fokus Ranin bergeser. Dia tak lagi berniat menikmati suasana. Dia memajukan sedikit tubuh, diam-diam berusaha mendengar segelintir percakapan Kasya di depannya.
“Kamu mau tau aku kangen kamu atau gak ya, Edgar?”
Mata Ranin sedikit menyipit, menyesal dengan rasa ingin tahu itu meski hatinya terus menerka siapa yang Kasya lisankan namanya.
(Bersambung)
Penasaran dengan lanjutan dari cerita Detik Tanpa Jeda?
Gabung bersama komunitas Jenius Co.Create
dan baca bagian ketiga, Ruang untuk Rindu!
Suka nulis cerita fiksi? Kamu juga bisa publish di Co.Create lewat link ini.
Comments ( 16 )