Wahh ternyata Ranin itu cowok
“T-TUNGGU! Jangan lepasin, Mi!” Si anak laki-laki, dengan kepala menyembul di permukaan air, memekik panik. Tangannya melayang ke sana kemari.
“Jangan pegangan gitu dong! Nanti aku tenggelam juga.” Di sebelahnya, seorang anak perempuan yang tengah menggerak-gerakkan kaki—tampak lebih mahir berenang—kelihatan gusar setengah mati.
“Tapi itu susah… aku belum bisa mengambang…”
“Ayo, pakai arm band-nya, terus tendang-tendang kaki kamu ke bawah,” ujar anak perempuan itu memberi contoh. Suaranya tak lagi gusar. “Kayak begini, Ranin.”
“Jangan lepasin, Mimi…”
* * *
BRAK!
Sebuah tumbler besar diletakkan mengentak di meja, tepat di sebelah Ranin—lelaki dengan rambut berambut pendek dan tubuh tegap hasil tempaan klub renang sepanjang masa sekolah—yang tengah meracau dalam tidur.
Kontan, lelaki ini terjaga dan sesaat tampak kebingungan, sadar sedang tidak berada di kamarnya.
“Siapa Mimi?” Angga, rekan kerjanya yang baru bergabung di ruangan tanpa sekat itu, hanya mengangkat alis. “Iri gue liat elo masih bisa merem di tengah kegilaan kayak begini.”
“Masih ada beberapa jam sebelum go live.” Ranin bangkit dari duduk sambil mengusap muka, menyadari malam baru saja dimulai bagi timnya. “Gue mau cari kopi—sama camilan.”
“Portrait masih buka tuh,” celetuk Angga, kemudian melengos—mulai kalah dengan rasa letih yang menggerogoti tubuhnya. “Gila ya, gak terasa waktu cepat berlalu. Udah awal tahun lagi. Kerja keras jadi budak perusahaan begini… buat apa, coba?”
“Buat jadi kaya lah!”
Jawaban lugas Ranin membuat Angga enggan berkomentar lebih lanjut; diam-diam setuju dengannya. Diam-diam berharap memiliki keyakinan solid seperti rekannya itu.
Jarum jam baru bergeser beberapa menit dari pukul sepuluh kala Ranin dan kedua rekan kerjanya, Angga dan Dewo, menyusuri jalanan menuju kedai kopi pilihan yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka. Suasana di luar masih menggeliat meski waktu sudah mendekati tengah malam. Tenda-tenda warung makan diterangi lampu neon bermunculan di depan pertokoan yang telah tutup seperti 5àsec dan Little Market Deli. Hanya kedai kopi Portrait yang dari luar masih tampak terang benderang.
Pintu dibuka dan Ranin langsung masuk, masih dengan raut sedikit mengantuk. Setelah membayar dan membawa pesanan americano dan tahu telur khas Jawa Timur yang bakal jadi kudapan malamnya, dia terpaku di tempat bak tengah melihat hantu di hadapannya.
“Mimi?” Suara Ranin terdengar setengah berbisik.
Perempuan berambut sebahu yang baru melewatinya menoleh ke belakang, tampak tidak yakin. Wajahnya terlihat lelah seperti kurang tidur. Ditatapinya wajah Ranin lekat-lekat untuk beberapa saat. “Ranindyo?” tuturnya pelan.
Ranin mengangguk, senang namanya masih diingat. Berbagai rasa berpadu dalam ekspresinya: kaget, senang, juga sedikit rindu. “Apa kabar, Mi—”
“Kasya,” perempuan ini memotong kalimatnya lalu berdeham. Sorot matanya seketika dingin. “Panggil aku Kasya.”
“Oh, oke.” Nada yang berubah jadi formal itu membuat Ranin impuls menahan gestur akrab, menjaga jarak hingga tak lagi sedekat tadi.
Baik Ranin maupun Kasya menebar pandangan ke ruangan Portrait yang malam itu tak menyisakan meja kosong. Tak ada kata yang terdengar selain ingar bingar suasana kedai kopi.
“Mau gabung?” tawar Kasya tiba-tiba.
“Kamu gak apa-apa? Maksudku, aku gak sendirian…” Ranin menoleh ke belakang. Angga dan Dewo tersenyum superlebar ke arah Kasya.
Kasya mengangguk tanpa satu pun kalimat terlisankan, kemudian melenggang lebih dulu ke sudut ruangan dengan satu-satunya meja yang masih kosong; laptop dan piring berisi pasta tampak di atasnya.
“Cantik banget anjir!” desis Angga bernafsu sembari menengok ke arah Kasya, tak sabar ingin segera menaruh badan di situ.
“Pantesan Jehan di-ghosting…” Dengan seenaknya Dewo menyimpulkan. Tangannya membawa baki yang dipenuhi kopi, donat, nasi jinggo, dan rambak petis—semua untuk dirinya sendiri.
Ranin tampak terganggu dengan pernyataan tersebut. “Kok bawa-bawa Jehan sih?”
Di meja, Ranin duduk di sebelah Kasya yang terlihat sibuk mencermati rincian arus kas pada fitur Moneytory di layar ponselnya. Angga dan Dewo mengambil tempat di depan mereka. Sungguh aneh suasana saat itu; berkumpul bersama tanpa mengenal baik satu sama lain, hanya bersalaman ala kadarnya. Otomatis percakapan di antara mereka pun enggan mengalir.
Saat kesenyapan terus menyelimuti, Angga pun menendang tulang kering Ranin yang duduk di depannya lantaran orang ini malah kalem menyeruput kopi, sedangkan mereka merasa serbarikuh. Tak tahu apa yang sebaiknya dijadikan topik obrolan.
“Jadi, Ranin dan Kasya teman lama, ya?” Akhirnya, Angga nekat mengambil alih demi cairnya suasana.
“Iya, sejak TK. Dia kakak kelasku.”
Jawaban singkat Ranin membuat Angga dan Dewo menganga.
“Kamu model, ya?” tanya Dewo tiba-tiba, membuat kedua rekannya menengok keheranan dengan sikap gamblang tersebut. Salah
tingkah, dia pun malah melanjutkan, “Soalnya, kayak pernah lihat di iklan…”
Kasya menggeleng, tak sedikit pun terlihat tersanjung dengan pujian tersirat itu.
“Ranin memang aneh; cewek kayak begini cuma dijadiin temen.”
“Gak di kantor, gak di pergaulan…”
“Buat dia yang penting kerja, kerja, kerja.”
Duet Angga dan Dewo yang tak henti berseloroh tidak lantas menjadikan Ranin panik. Dia tetap membisu, lalu tiba-tiba teringat mimpinya tadi saat ketiduran di kantor. Perlukah dia ceritakan si bunga tidur ke Kasya di tengah pertemuan tak terduga ini?
Nggaklah, Nin, hatinya menyahut. Itu cuma bikin suasana makin awkward. Lagi pula, dia kelihatan capek banget. Ke mana sorot mata ceria kayak zaman dulu pas kami renang bareng?
“Jadi, kalian dulu satu sekolah terus?” Angga tetap penasaran.
“Ya, sampai SMP,” Kasya menjawab setelah menghabiskan suapan terakhir lemon garlic shrimp pasta, menu yang membawa ingatan Ranin ke masa kecil kala mereka masih bermain bareng—playdate—dan perempuan ini begitu menyukai aneka masakan pasta.
“Terus, setelah itu?” Dewo sedikit tidak sabar.
“Aku nerusin ke SMA swasta yang sama, sedangkan Ranin…” Mata Kasya meneliti wajah Ranin di depannya; setengah berpikir, setengah melamun. ”Ranin… kayaknya masuk negeri, ya?”
“Ya. Gue pindah ke—”
“Kita berdua berbeda. Jadi, nggak mungkin aku masuk ke SMA 70 kayak Ranin.” Mata Kasya yang kecil dan sedikit sipit tampak berkedip tenang, mengisyaratkan dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Suasana kedai kopi yang ramai mendadak sunyi di telinga Ranin. Bukan cuma dia, Angga dan Dewo pun rupanya cukup terpegun mendengar penuturan personal itu. Serta-merta, mereka bergeser dari tempat duduknya ke meja lain yang baru saja ditinggal pengunjung.
Ranin melipat tangan di meja sambil sesekali menoleh ke samping, tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya ingin membeli kopi, juga sedikit kudapan di Portrait demi mengisi tenaga, lalu kembali bekerja. Lembur malam ini memang tak terhindari dan sudah diantispasi olehnya. Namun, dia bisa pulang lebih cepat jika semua rampung sesuai rencana.
Jika.
Ranin mendesah pelan. Tadi dia terlalu girang melihat sosok Kasya yang tak pernah dijumpainya selama bertahun-tahun. Namun, angan di benaknya dan kenyataan di depan mata sungguh bertolak belakang; Kasya malah bersikap seperti orang asing, membuatnya sempat tak berkutik—tak tahu harus bersikap seperti apa.
Sialnya, kini Angga dan Dewo malah meninggalkan dirinya berdua dengan Kasya yang terlihat tidak tertarik meneruskan perbincangan lebih lanjut.
Setelah menghabiskan minuman di cangkirnya, Kasya bangkit dan menyandang tas Goyard yang warnanya tak lagi cerah, terlihat sudah sering dipakai. “It’s good to see you, Ranin. Salam buat Tante Suri ya.”
Ranin tidak bisa menerka apakah Kasya serius dengan ucapan itu. Senang bertemu dengannya? Apa iya? Karena, sejak tadi perempuan itu tidak terlihat demikian.
“Kamu mau pulang?” Seketika Ranin menyesal bertanya seperti itu. Seolah dia bisa mengantar perempuan itu saja. Pertama, dia harus kembali ke kantor. Kedua, dia tidak membawa kendaraan.
Kasya sempat memperhatikan sosok lelaki yang ikut berdiri di samping, mulai dari kepala sampai separuh badannya. “Yang jelas, gak lembur kayak kamu sih.”
Eh? Bercanda juga akhirnya, batin Ranin lega. “Boleh aku minta nomor HP kamu?” Dengan spontan dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
“Aku kira kamu gak bakal tanya itu ke teman lama.” Kasya tersenyum. Lesung pipit muncul di sisi kanan wajahnya, sama seperti yang Ranin ingat kala perempuan itu tertawa di sela-sela candaan mereka dulu.
“Aku pikir kita bukan teman lama.” Ranin menyipitkan mata sembari menarik mundur wajahnya.
Setelah Kasya benar-benar menghilang di balik pintu Portrait, sebuah tepukan keras mendarat di punggung Ranin.
Siapa lagi kalau bukan Angga?
“Lo gak pernah bilang selama ini kenal Akasya Kusuma, Ran!”
“Oh, sekarang dia seleb?” tanya Ranin datar. Akasya Kusuma… dia baru ingat nama Kasya.
Dewo memperlihatkan layar ponselnya terlalu dekat ke depan wajah Ranin. “Namanya Mitri Akasya Kusuma, kan? Dia lumayan terkenal.” Mata lelaki bertubuh gempal ini kembali tertuju ke gawai, mencermati berita berikutnya. ”Apalagi bokapnya… hampir terjerat kasus korupsi oleh KPK, tapi masih bisa lolos.”
“Yang pernah bersekongkol sama Leonard Rumawas si taipan kelapa sawit itu, kan? Anaknya, Edgar, yang bikin headline gara-gara kebut-kebutan pake Lambo di jalan tol,” Angga menimpali.
Ranin mengernyit. Dengan jadwal kerja mereka sepadat itu, kedua rekannya masih sempat mengikuti berita terkini?
Ketiganya meneruskan perbincangan seraya menyusuri jalanan sepi, kembali ke kantor. Topiknya masih sama, masih seputar Kasya.
Tak tahan dibombardir pertanyaan sarat rasa penasaran oleh rekan-rekannya, akhirnya Ranin ikut melirik ke HP Dewo yang kini menampilkan situs e-commerce penuh dengan berbagai macam sepatu. “Rumi? Apaan tuh?”
“Brand sepatu cewek. Lokal punya. Jehan dan Kenny aja suka pake ke kantor.”
“Terus, apa hubungannya sama Kasya?” Ranin masih tidak paham.
“Rumi itu bikinan Kasya Kusuma. Lo beneran gak tau?” Mata Dewo membeliak besar, seolah ketidaktahuan Ranin merupakan masalah besar.
“Sebenarnya elo dan Kasya masih in touch gak sih?”
Untuk kesekian kali Ranin menggeleng. Ekspresi lelahnya disalahartikan sebagai sikap jengkel, membuat kedua rekannya tak jadi bertanya lebih jauh. Padahal, baginya tak ada yang lebih penting selain merampungkan pekerjaan kemudian membayar waktu tidurnya setelah tiga hari begadang.
“Jehan dapet saingan nih.”
Jehan lagi. “Udah deh, Ga.” Nada dingin yang tak biasanya muncul dari sosok sesabar Ranin membuat Angga pun bungkam, tak lagi menyebut nama itu.
* * *
Hari Minggu yang dingin berawan membuat Ranin tertidur pulas dan baru bergabung di lantai bawah rumahnya pada pukul sebelas siang. Rupanya bukan cuma dia yang saat itu butuh kopi, Ibu yang tengah membuat roti lapis telur dan keju pun sama.
Namun, berbeda dengan Ibu yang asyik berbincang dengan Ayah—spatula di tangan kanan dan mug berisi kopi di tangan kiri, Ranin duduk termenung di ujung meja makan. Tatapannya menerawang ke taman yang terlihat rapi setelah kemarin dipangkas tukang kebun.
Tiba-tiba Ayah bangkit dari duduknya sambil mengingatkan Ibu untuk tidak kebanyakan minum latte favoritnya lantaran takut GERD yang diidapnya kambuh. Sesaat kemudian, Ayah pamit hendak ke bengkel mobil.
Sebelah mata Ranin menyipit. Barulah dia ingat bahwa hari ini semestinya dialah yang bertugas mengganti kampas kopling mobil matik mereka di tempat langganan.
Namun, Ayah mengangkat satu tangan ke arah putra tunggalnya. “Biar Ayah aja. Kamu selesaikan sarapanmu, Nin.”
Tatkala hanya dirinya dan Ibu di ruangan, Ranin pun membuka pembicaraan. “Semalam aku gak sengaja ketemu Mimi—Kasya.”
Ibu tidak jadi menyesap kopinya. Kedua matanya setengah melotot. “Kasya putrinya…”
Suara Ibu kemudian menguap, tak mampu menyelesaikan kalimatnya, dan Ranin sudah menduga hal itu.
“Ya, Kasya putrinya Tante Rima sahabat Ibu,” dia melanjutkan apa yang hendak dilisankan ibunya.
“Gak terasa sudah setahun sejak Rima meninggal…” gumam Ibu pelan, kemudian kembali melakukan aktivitasnya.
Ranin memperhatikan penampilan ibunya yang tak berubah sejak dia duduk di bangku SMP: rambut dikucir kuda dan baju yang selalu tepercik cat meski sudah mengenakan celemek; tipikal seniman sejati. Yang berbeda, kini raut Ibu tak lagi tertekan seperti masa awal kepergian teman baiknya. Ayah tak perlu sesering dulu meremas bahu Ibu demi memberi dukungan moril, ikut berempati atas kehilangannya. Bahkan, kini tawa lepas sesekali terdengar dari mulut Ibu saat mereka bersenda gurau.
“Terus, ngobrol apa saja sama Kasya? Kamu masih manggil dia Teteh?” Ekspresi Ibu mendadak jadi cerita bak remaja yang tak sabar menunggu bocoran gosip.
Kedua alis Ranin menekuk, teringat fakta bahwa Kasya tak lain kakak kelasnya sejak masa TK sampai SMP. “Dari dulu aku gak pernah manggil dia Teteh, Bu. Yang manggil begitu kan Nanda, adiknya Kasya.”
“Oh iya… Nanda seumuran kamu.” Seulas senyum kecil sarat nostalgia membingkai wajah Ibu.
“Aku malah panggil dia Mimi.”
“Mimi.” Ibu tersenyum, tampak mengenang sesuatu. “Panggilan kesayangan Rima untuk putri sulungnya.”
Ranin mengedikkan bahu. “Entahlah, Bu… tiba-tiba nama Mimi yang terlintas di benak aku pas kami ketemu. Mungkin karena nama itu yang dulu sering disebut saat playdate.” Rasanya sedikit aneh karena kini dia mesti memanggilnya Kasya, atau memang sudah selama itu mereka tak lagi bersua?
“Lanjutkan hubungan itu ya, Ranin.”
“Eh?” Ranin tak jadi menyantap rotinya.
“Teruskan silaturahmi antara Ibu dan mendiang Tante Rima—antara kamu dan Kasya. Rima pasti menginginkan hal yang sama.”
* * *
Permintaan Ibu terus terngiang di benak Ranin, bahkan seminggu setelah pertemuannya dengan Kasya di kedai kopi Portrait.
Teruskan silaturahmi, kata Ibu. Silaturahmi? Hubungan seperti apa yang beliau harapkan terjalin dari dirinya dan Kasya setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Setelah selama ini tak pernah berbincang dan hanya sesekali mendengar kabar dari orang lain? Apalagi mereka bukanlah anak kecil yang kerap bermain air di kolam renang kakeknya Kasya seperti belasan tahun silam.
Setelah proses go live di kantor yang terbilang sukses, Ranin tidak langsung memacu ritme kerjanya jadi kembali normal. Hari ini misalnya, dia memilih pulang lebih cepat buat mengerjakan sebagian pekerjaan di rumah dan bersantai sejenak dengan bermain PlayStation.
Anehnya, Ranin tak langsung mengeksekusi rencana tersebut. Sebelum menyelipkan HP kembali ke saku, dipandanginya nomor Kasya. Dia hampir menekan tombol call meski tidak tahu bagaimana sebaiknya memulai obrolan. Mungkin pertemuan mereka—silaturahmi yang Ibu minta—bisa menjadi penawar lelah dari kesibukan yang tiap hari membelenggunya. Mungkin dia dan Kasya bisa berteman…
Sejak dulu, Ranin dan Kasya bukan sepasang sahabat akrab. Pertemuan mereka diawali saat perayaan ulang tahun Kasya yang kelima di TK. Ranin yang saat itu baru pertama kali mencicipi dunia kelompok bermain hanya bisa bersembunyi di balik kaki Ibu. Pada hari yang sama, Ibu dan Tante Rima berkenalan dan sejak saat itu mereka tak terpisahkan. Setelah momen pesta tersebut, puluhan playdate dan piknik lain mereka lewati bersama; sebentuk kebersamaan yang membuat Ranin dan kedua anak Tante Rima—Kasya dan Nanda—jadi makin terbiasa satu sama lain.
Semakin bertambahnya usia, Ranin menyadari perbedaan mendasar di antara ibunya dan Tante Rima. Meski kedua wanita itu tetap terlihat keren—khas perempuan populer di masanya, gaya hidup Ibu jauh lebih sederhana ketimbang Tante Rima yang berasal dari keluarga terpandang dengan sederet agenda sosial yang kerap dipublikasikan majalah gaya hidup papan atas.
Perbedaan itu kian kasatmata saat dia, Kasya, dan Nanda duduk di bangku SMP—di sekolah swasta yang sama. Ranin terbiasa mengadang bus saat pulang sekolah, sedangkan kedua temannya duduk anteng dalam mobil yang dikendarai sopir. Pertemanan mereka bertiga berangsur-angsur menjarak, sementara itu para ibu malah makin lengket!
Kepala Ranin terangkat, menatap lurus ke bangunan kecil—Portrait—tak jauh di depannya. Bukannya pulang, dia malah berjalan ke arah kedai kopi itu dan berdiri tepat di depan dinding kacanya.
Matanya meneliti cepat deretan pengunjung di dalam.
Tak ada Kasya di situ.
Ranin mengembuskan napas, diam-diam mentertawai rasa grogi akan polahnya saat ini. Buat apa dia mengendap-endap di depan kedai kopi demi mencari seorang perempuan yang bahkan tak pernah disapanya lima tahun belakangan ini?
Saat dia berbalik badan, Kasya tengah berdiri tepat di belakangnya.
“Mimi—eh, Kasya…” Cepat-cepat Ranin koreksi sapaan spontannya itu. Jantungnya seketika berdetak cepat, tak menyangka keinginannya terkabul detik itu juga.
“Kayaknya ini bukan sekadar kebetulan ya, Ranin.”
(Bersambung)
Penasaran dengan lanjutan dari cerita Detik Tanpa Jeda?
Gabung bersama komunitas Jenius Co.Create
dan baca bagian kedua, Interupsi, di sini!
Suka nulis cerita fiksi? Kamu juga bisa publish di Co.Create lewat link ini.
Comments ( 22 )