Halo Kak Utha!
Aku suka banget sama materi dari Mba @GKRHayu kemarin! Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta selalu menarik untuk dibahas ya. Aku pun baru tau kalau dalam pengimplementasiannya, teknologi tersebut tetap mengacu tata krama khas keraton. Jadi pengen liburan ke sana! Haha
Makasih juga untuk Kakak-kakak Co.Create Squad, materinya asik-asik banget!
Hi Co.Creators! Di sini siapa yang sudah menyaksikan Jenius Conference Co.Creation Week 2020 pada 2 November 2020, yang mana berbagai topik dibahas dengan “Reshape” sebagai tema utama? Atau di antara kalian ada yang kelewatan? Kali ini Jenius Co.Create ingin membahas mengenai digitalisasi sebagai implementasi pelestarian budaya di Keraton Yogyakarta yang diangkat oleh Gusti Kanjeng Ratu Hayu pada conference “Digitalized Culture: Is It Possible?”. Pada kesempatan tersebut, secara spesifik beliau mengajak kita mengetahui tentang digitalisasi budaya yang ada di Keraton Yogyakarta. Buat kamu yang ketinggalan live streaming maupun rerun-nya, yuk simak!
Pentingnya Digitalisasi dalam Pelestarian Budaya
Sebenarnya, apa sih pentingnya digitalisasi dalam pelestarian budaya? Menurut Gusti Kanjeng Ratu Hayu, budaya akan selalu berubah seiring perjalanan waktu dan tugas generasi sekaranglah untuk memastikan biar budaya itu gak hilang arah. Beliau mengilustrasikan budaya yang berubah ketika dahulu ketika Kerajaan Mataram pecah menjadi dua dengan adanya Perjanjian Giyanti menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Yang paling kelihatan adalah tarian gagrak mataram yang dibawa ke Keraton Surakarta punya pakem tersendiri dengan yang ada di Kesultanan Yogyakarta. Bisa dikatakan, budaya berubah. Hal-hal seperti ini, kalau gak diarsip atau didigitalisasi dengan baik, bakalan hilang karena para pelaku budaya itu pasti akan tergantikan.
Gusti Kanjeng Ratu Hayu pun menjabarkan bahwa Keraton Yogyakarta pernah kehilangan sejarah yang besar di era Hamengkubuwono II yang mana saat itu seluruh manuskrip yang dimiliki Kesultanan Yogyakarta dibawa ke Inggris. Ada satu kapal yang karam sehingga Keraton Yogyakarta kehilangan sejarah dari era sebelum Hamengkubuwono II dan manuskrip yang ada baru bisa dibuat kembali 30 tahun kemudian. Hal ini yang membuat beliau termotivasi untuk mendigitalisasi aset Keraton Yogyakarta.
Pentingnya teknologi dalam pelestarian budaya pun terasa pada masa seperti sekarang. Sebelumnya, dalam setahun ada tiga kali Upacara Grebeg yang mana isi gunungan diperebutkan. Namun, keadaan membuat kita semua gak boleh mengumpulkan massa. Akhirnya upacara tersebut pun berubah: gak ada gunungan yang keluar, tapi dibagi-bagi di dalam keraton. Bagi Gusti Kanjeng Ratu Hayu, hal ini menyadarkan kita bahwa digitalisasi sudah berada di tahap urgent.
Proyek Keraton Yogyakarta dalam Digitalisasi Pelestarian Budaya
Dalam digitalisasi pelestarian budaya Keraton Yogyakarta, terdapat berbagai proyek yang terbagi menjadi 2, yaitu proyek internal dan proyek eksternal. Proyek internal meliputi pembuatan database Abdi Dalem, digitalisasi aset benda dan bukan benda, RFID (radio-frequency identification) pada aset seperti barang museum, kostum tari, dan sebagainya, serta online ticketing. Sementara itu, proyek eksternal terdiri atas media sosial, website, digital library, documentary, live streaming, hingga offline event.
Yang paling kelihatan adalah proyek pengadaan media sosial Keraton Yogyakarta. Meski tampak mudah, sebenarnya pengerjaan ini sukar karena Keraton Yogyakarta gak bisa mengadaptasi kerajaan mana yang sudah menggunakan media sosial (pada tahun 2015). Gak ada yang bisa dicontoh di Asia—termasuk Thailand dan Jepang. Saat itu Kerajaan Inggris memang punya, tapi isinya ketika Prince Harry sedang melakukan charity apa dan di mana. Mereka gak punya tarian adat seperti Keraton Yogyakarta.
“Content production dari Keraton Yogyakarta butuh effort besar karena intinya kami buat buku sejarah. Kami jadi rujukan sehingga apa yang dikeluarkan gak boleh salah,” papar Gusti Kanjeng Ratu Hayu.
Bukan cuma media sosial, proyek yang paling besar adalah digitalisasi aset yang ada di Keraton Yogyakarta. Ada manuskrip yang mesti terkatalog, yang menurut Gusti Kanjeng Ratu Hayu, diperkirakan baru selesai didigitalisasi tahun 2081! Lama juga ya! Hal ini karena banyak banget yang mesti didokumentasi kayak ribuan wayang, pakaian sendratari, bahkan wayang orang beserta riasannya. Belum dihitung dari kesenian gending (gamelan jawa) juga arsitektur.
“Kami ini membangun online library yang belum bisa kebayang kapan selesainya,” pungkas Gusti Kanjeng Ratu Hayu.
Sebagai Penghageng Tepas Tandayekti Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hayu bertanggung jawab menyediakan informasi untuk publik serta membangun sistem IT di dalam Keraton Yogyakarta itu sendiri. Bagi beliau, transformasi digital ini sangat penting untuk membawa Keraton Yogyakarta ke masa depan yang mana bisa dijadikan informasi penting untuk membuat keputusan nantinya.
Bayangan Digitalize Culture Era di Mata Gusti Kanjeng Ratu Hayu
Gusti Kanjeng Ratu Hayu memiliki impian, yang mana nantinya Sultan sebagai raja hanya perlu tablet untuk tau informasi tentang segala aspek di Keraton Yogyakarta, entah itu keuangan, jumlah Abdi Dalem, aset kesenian, dan sebagainya.
Yang kedua, Gusti Kanjeng Ratu Hayu ingin Diaspora Jawa memiliki akses terhadap informasi yang valid atas budayanya sehingga gak kehilangan jati diri. Saat bersekolah di New York, terdapat Diaspora Jawa—mungkin generasi ketiga—yang belum pernah ke Indonesia. Mereka merasa kosong dan bertanya-tanya, “Siapa aku?” Saat berusaha mencari tau, mereka gak bisa menemukan budaya Jawa yang sebenarnya seperti apa.
“Impian saya, Diaspora Jawa yang gak bisa ke Indonesia punya akses valid tentang budayanya, sehingga mereka gak kehilangan jatidiri. Karena ini bukan sekadar tarian yang dilihat, sekadar mengunjungi Keraton Yogyakarta lalu melihat arsitekturnya. Namun, budaya Jawa sebagai way of life.”
Menurut Gusti Kanjeng Ratu Hayu, filosofi itulah yang mesti ditanam ke hati, hingga bisa diimplementasikan sehari-hari dengan tarian, permainan gamelan, dan sebagainya. Karena baginya percuma jika budaya itu dilakukan tapi gak tau filosofinya, pasti bakalan terasa kosong.
Baca juga: Seni di Masa Pandemi: Pesta Boneka Virtual ala Papermoon Puppet Theatre
Yuk, Ikut Melestarikan Budaya!
Pihak Keraton Yogyakarta selalu berusaha mendekatkan budaya yang ada ke generasi muda dengan berbagai hal seperti upacara, tarian, musik, dan masih banyak lagi. Sayangnya, gak sedikit generasi muda melihat tarian Jawa sebagai sesuatu yang old fashion, atau main gamelan malah bikin ngantuk.
Selaku Kepala Divisi IT Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hayu bekerja sama dengan suaminya yang ditunjuk oleh Ngarsa Dalem (Sultan) sebagai Kepala Divisi Kesenian Keraton Yogyakarta. akhirnya membuat proyek bernama Catur Sagotro. Proyek tersebut adalah wujud keinginan beliau agar kebudayaan ini diterima di masyarakat luas. Bahkan flash mob yang dilakukan pada perhelatan tersebut sampai di-notice masyarakat Indonesia lewat media sosial. Ini sih gak heran ya, soalnya kan keren banget.
Kalau kamu mau ikut melestarikan budaya, menurut Gusti Kanjeng Ratu Hayu, hal itu gak sulit kok. Yang paling penting adalah mengapresiasi pelaku budaya itu sendiri. Beliau mengilustrasikan ketika ada festival jajanan pasar, cobalah untuk membeli makanan tradisional. Difoto, lalu upload di media sosial, bisa ditambah dengan penjelasannya karena mungkin saja ada teman kamu yang gak tau sebenarnya makanan apa itu.
“Itu juga take a part. Kalau sudah interested, saya harap kalian involve. Kalaupun memang mendokumentasikan dan menyebarluaskan informasi, that’s fine too.”
Memang benar sih ya, sekecil apa pun usahanya, bakalan tetap berpengaruh dalam dalam pelestarian budaya! Dalam akhir conference, Gusti Kanjeng Ratu Hayu pun bilang ada pesan dari Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono X yang selalu beliau ingat, dan mungkin bisa kamu pegang, “Modernisasi bukan berarti westernisasi.”
Comments ( 3 )