Gak tau kenapa, terharu bacanya… terutama pas bagian “berharap banyak orang tau supaya roda perekonomian berputar kembali”. Anw, seru banget ka cerita perjalanannya ikut terhanyut bahkan jadi ngerasain juga gimana sakitnya kena rumput duri beracun.
Pada April 2023 saya memutuskan untuk trekking ke bagian dari puncak tertinggi di dunia, yaitu Langtang Valley di kawasan Pegunungan Himalaya, Nepal.
Saya tau tempat ini dari film dokumenter Aftershock: Everest and the Nepal Earthquake di Netflix. Film ini bercerita tentang gempa dahsyat yang menimpa Nepal pada tahun 2015, dan Langtang Valley adalah salah satu titik terparah yang menyebabkan hampir semua bangunan desa rata dengan batu es. Bahkan peristiwa tersebut menewaskan lebih dari 200 korban jiwa termasuk penduduk lokal dan pendaki luar.
Saat itulah saya merasa terpukul melihat kondisi yang memprihatinkan karena mengingat mereka hidup dalam daerah yang ekstrem. Seketika saya merasa terpanggil untuk berkontribusi lebih jauh.
Persiapan Keberangkatan
Tanpa persiapan matang, saya menyusun itinerary perjalanan dalam 2 minggu termasuk biaya perjalanan trekking ke Nepal, mulai dari tiket pesawat, trekking tour, akomodasi, dan perlengkapan trekking. Namun, ada satu kendala yang bikin saya pusing, yaitu mata uangnya alias Nepal Rupee!
Baca juga: Kesaktian Kartu Debit Jenius saat Dinas ke London
Dari hampir semua money changer di Jakarta, gak ada satu pun yang melayani penukaran kurs tersebut. Alasannya simpel: jarang ada permintaan dan cuma tersedia di negara tujuan, jadi salah satu solusi ya tukar ke Dolar Amerika (USD) seadanya.
Tiga hari sebelum keberangkatan, saya iseng menge-scroll X—atau Twitter—untuk mengisi waktu luang. Lalu saya menemukan satu postingan tentang fitur penukaran mata uang asing dari Jenius. Saya pun langsung membuka aplikasi Jenius dan ketemu fitur tersebut, ternyata sepraktis itu tukar IDR ke USD secara online yang bisa langsung terhubung ke kartu fisik!
Sungguh terbantu buat tipe orang kayak saya yang agak terburu-buru. Bahkan, nilai kursnya pun worth it banget. Bukan cuma USD, tersedia pula 8 mata uang asing lainnya di Jenius. Duh, ke mana saja aku selama ini? Kenapa baru tau sekarang?!
Sebelum terbang ke Kathmandu, disarankan membeli tiket terpisah: transit dulu ke Kuala Lumpur karena harga tiket pesawatnya jauh lebih affordable dibanding beli satu paket tiket sekaligus.
Memang sih, mesti repot pindah terminal dan keluar masuk imigrasi, tapi sisanya tinggal siapin e-Visa Nepal yang bisa diisi online, ataupun dengan Visa On Arrival yang cuma $25 untuk 14 hari. Dengan segala kemudahan, transaksi pembelian pun saya pakai Kartu Debit Jenius!
Baca juga: Pengalaman Jenius Liburan ke Singapura
Sebuah Perjalanan
Perjalanan yang ditunggu-tunggu pun dimulai, saya tiba di Kathmandu sekitar pukul 9 malam waktu setempat. Kesan pertama cukup berbeda dengan ekspektasi, saat malam kotanya jauh lebih sepi dan gelap dibandingkan Jakarta, hanya beberapa area turis yang tampak berkelap-kelip, juga banyak debu dari konstruksi, serta ada aroma rempah-rempah aneh di jalan. Bahkan, di dalam kamar hostel yang saya pilih untuk bermalam pun aromanya tetap menempel.
Keesokan paginya, meski saya masih merasa capek, agent tour saya sudah menunggu di lokasi penjemputan untuk bertolak ke bus terminal yang akan berangkat ke Syapru Besi—basecamp pertama dari trekking ke Nepal kali ini.
Saya didampingi Bashu, mountain guide saya untuk seminggu ke depan. Untungnya, beliau asyik diajak ngobrol; mengingat rute pertama ini cukup jauh, yaitu sekitar 120 kilometer atau 10 jam menggunakan bus lokal.
Siapa sangka perjalanan ini cukup menguji adrenalin? Jalan gunung yang kami lalui benar-benar menanjak, kecil, penuh belokan terjal, dan kadar oksigen yang mulai berkurang dikarenakan mendekati ketinggian 1.900 mdpl.
Sesampainya di Syapru Besi, waktu sudah mulai sore dan suhu sekitar menurun drastis. Kami pun bermalam di salah satu tea house—sebutan dari restoran lokal sekaligus penginapan buat pendaki atau tamu yang sedang singgah.
Desa kecil ini berbatasan 20 kilometer dari Tibet dan dijaga ketat oleh polisi militer. Penduduk lokalnya gak begitu banyak, jadi suasananya amat tenteram dan tentu saja udaranya lebih bersih dibandingkan ibu kota.
Sehabis makan malam, saya kepikiran untuk ambil uang tunai lebih buat jaga-jaga pas trekking. Ternyata di sana cuma tersedia 2 mesin ATM tua yang tutup pukul 8 malam. Meski gak terlalu meyakinkan, Bashu membantu saya untuk menerjemahkan beberapa tulisan Nepali di layar.
Tentu saja hal ini dikarenakan gak ada pilihan bahasa Inggris di ATM tersebut. Traveling ke Nepal kali ini benar-benar terbantu pakai Jenius. Bayangkan saja, sampai pelosok desa di Nepal pun masih bisa tarik tunai pakai Kartu Debit Jenius!
Trekking ini sebenarnya cuma 5 hari, tapi karena pulang pergi memakan waktu yang panjang sehingga jadi satu minggu. Kami menargetkan tiap hari trekking selama 7-8 jam atau sekitar 14 kilometer, yang dibarengi makan siang dan quick break.
Hari pertama cukup menguras tenaga, dimulai dengan medan berbatu yang bersebelahan dengan sungai berarus kencang. Banyak banget batu besar runcing hasil longsor yang bikin cemas salah injak. Ada juga jalan setapak samping jurang yang membentuk tanjakan 80 derajat.
Baca juga: Salju Hokkaido & Keajaiban Kartu Debit Jenius
Ditambah lagi, tangan saya gak sengaja menyentuh rumput duri beracun saat lewat! Luar biasa rasa sakitnya dan sempat mati rasa selama 36 jam! Gak dikasih ampun, ada satu jalur tangga gak beraturan dari batu yang harus dinaiki nonsetop selama 2 jam.
Saya harus benar-benar fokus! Kalau gak, akan berakibat fatal terpental ke bawah. Saya harus berterima kasih banyak kepada Bashu yang sangat gesit membantu dan menyemangati saya.
Rasanya badan saya sudah hampir remuk! Namun, akhirnya kami sampai di Lama Hotel, basecamp kedua untuk bermalam. Sudah di ketinggian 2.515 mdpl, suhu makin menurun ke 12 derajat Celcius. Desa sini cuma punya solar power, artinya setelah matahari tenggelam, semua listrik akan mati dan gelap gulita.
Tea house kali ini pun lebih sederhana, tapi sangat berkesan karena disambut hangat oleh kakak dan dua adik dari pemilik tempatnya. Makanan yang disajikan pun sangat variatif dan lezat, mengingat semua daerah di Langtang cuma diperbolehkan vegetarian karena 99% beragama Buddha. Dilanjut obrolan malam yang santai penuh tawa di depan api unggun yang cukup mendistraksi beban berat tadi.
Hari berikutnya bisa dibagi dalam tiga sesi. Sesi pertama cukup mengkhawatirkan karena treknya masih sama dengan hari sebelumnya yang penuh tanjakan. Sesi kedua kami melewati jalur hutan yang lebih rata, serta suguhan pemandangan pegunungan yang ciamik. Jadi saya bisa sedikit bernapas lega.
Saat memasuki sesi ketiga, terjadi badai salju kencang. Hal ini sungguh di luar dugaan! Kaki kanan saya cedera berat sehingga harus berteduh sebentar di gubuk terdekat. Gak bisa terlalu lama karena hampir gelap, kami bertekad menyelesaikan perjalanan hari itu dalam badai. Pikiran sudah kosong dan badan sudah gemetaran, tapi untungnya kami sampai dengan selamat di Langtang Village, basecamp ketiga sekaligus inti trip kali ini.
Saya gak terlalu ingat berapa lama badai berlangsung karena sehabis quick nap di tea house, suasana depan jendela kamar sudah dibalut salju tebal dan berembun. Malam itu saya mengalami altitude sickness lumayan parah karena berada di ketinggian 3.700 mdpl, serta suhu ekstrem yang mencapai minus 10 derajat Celcius saat itu. Hujan salju tadi ternyata adalah salju pertama di tahun ini, entah saya beruntung atau gak.
Desa ini sudah berubah banyak sejak gempa. Saya sempat bertemu dan mengobrol dengan beberapa survivor. Mereka cuma berharap makin banyak orang tau dan berkunjung ke tempat ini supaya roda perekonomiannya berputar, mengingat pekerjaan mayoritasnya mengurus tea house, mountain guide, porter, dan beternak.
Apalagi kalau musim longsor akses trekking akan ditutup sementara, sehingga gak ada pemasukan. Mereka pun rela memanggul barang bawaan sampai ratusan kilogram yang penting dibayar.
Ada satu hal lain yang cukup memprihatinkan, yaitu akses pendidikan anak-anak mereka. Sekolah terdekat harus ditempuh minimal 3 jam dengan jalan kaki dan gak ada pilihan lain. Banyak yang putus sekolah karena faktor ekonomi sampai harus kerja di usia muda. Di situlah uang tip berapa pun yang mereka dapatkan, mereka akan sangat berterima kasih, apalagi dengan keramahan mereka yang jauh melebihi warga lokal di negara lain.
Baca juga: Jadi Penduduk Lokal di Italia Berkat Jenius
Hari ketiga, seharusnya kami akan terus jalan sampai peak tertinggi, yaitu Kyanjin Ri (4.773 mdpl), tetapi pasca-salju jalan sangat licin dan kondisi kaki saya gak membaik. Maka, kami cuma jalan sampai Kyanjin Gompa (3.870 mdpl) sekitar tiga jam dari Langtang Village, lalu balik lagi ke tea house yang sama sehabis makan siang.
Gak jarang kami menyempatkan berhenti lumayan lama di beberapa spot untuk menikmati keindahan alam yang luar biasa indah, gunung-gunung tinggi berdekatan membentuk siluet, sungai jernih yang hampir beku mengalir begitu deras, pohon berbalut salju yang mulai mencair, kuda putih dan yak peliharaan yang mencari makan di sekeliling, sungguh membuat saya gak bisa berkata-kata lagi.
Perjalanan hampir selesai, dan dua hari berikutnya kami turun melewati jalur yang sama. Namun, kali ini lebih terasa santai karena turunan yang mana gak sesulit saat menanjak.
Selama trek, jarang sekali kami menemukan sampah. Saya rasa mereka lebih sadar untuk menjaga lingkungan sekitar. Biarpun sempat berpapasan dengan banyak pendaki luar, tapi saya cukup bangga karena menjadi satu-satunya pendaki dari Indonesia saat itu. Bahkan, Bashu pun baru pertama kali bertemu orang Indonesia selama kariernya. Liburan bareng Jenius kali ini membuka banyak insight menarik tentang kehidupan dari hal-hal kecil, proses yang gak mengkhianati hasil, dan selalu membantu sebelum dibantu.
Comments ( 1 )